Kamis, 19 Maret 2009

FILSAFAT UMUM

Beberapa pengertian
1. Pythagoras mengemukakan bahwa manusia dapat dibagi ke dalam tiga tipe: mereka yang mencintai kesenangan, mereka yang mencintai kegiatan, dan mereka yang mencintai kebijaksanaan. Tujuan kebijaksanaan dalam pandangannya menyangkut kemajuan menuju keselamatan dalam hal keagamaan.
2. Socrates menganggap pengetahuan tentang diri sendiri, melalui pencapaian kejelasan konseptual, sebagai fungsi filsafat.
3. Bagi Plato, obyek filsafat ialah penemuan kenyataan atau kebenaran mutlak (keduanya sama dalam pandangannya), lewat dialektika.
4. Aristoteles mengetengahkan bahwa filsafat berurusan dengan penelitian sebab-sebab dan prinsip-prinsip segala sesuatu. Dalam arti ini, filsafat kelihatannya identik dengan totalitas pengetahuan manusia. Tatapi di dalam disiplin filsafat pada umumnya terdapat disiplin lain, filsafat pertama, yang ia namakan juga ”teologi”. Ini menyangkut prinsip-prinsip dan sebab-sebab terakhir, yang meliputi ide Allah, prinsip segala prinsip dan sebab segala sebab.
5. Dalam pemikiran Yunani kuno pernah filsafat dibuat praktis. Filsuf dari Kirene, Hegesias misalnya, berkeyakinan bahwa filsafat berfungsi mengajarkan cara menghindari penderitaan. Banyak kaum Epikurean menganut pandangan yang sama. Kaum Stoa menganggap perolehan apathia (ketentraman batin) sebagai tujuan filsafat.
6. Neoplatinisme percaya bahwa tujuan filsafat ialah bersekutu dengan yang ilahi.
7. Selama Abad Pertengahan, filsafat dianggap menganggu kehidupan iman; kacuali kalau diabdikan kepada teologi. Iman mesti mendahului akal. Dengan demikian teologi membawa kita kepada titik di mana akal tidak lagi berfungsi.
8. Bagi Decrates, filsafat merupakan pembentangan atau penyingkapan kebenaran terakhir. Titik tolaknya ditemukan dengan mendesak keraguan sampai ke batasnya. Dan tersingkaplah batas itu, yakni kepastian tentang eksistensi sendiri.
9. Locke berpendapat bahwa filsafat menuntut suatu analisis ide-ide yang memenuhi pikiran kita. Dalam analisis ini ide-ide dikupas agar tersingkap unsur-unsurnya.
10. Saint Simon yakin, filsafat menjadi alat pengharmonisan dunia.
11. Hegel berpendapat bahwa filsafat bertugas mendeduksi kategori-kategori. Maksudnya, ide-ide pokok untuk penafsiran hakikat semua hal. Dalam filsafat, malalui sejarahnya, menghadirkan kebenaran mutlak dalam dentuk mutlak.
12. Nietzsche yakin misi pribadinya ialah berfilsafat dengan palu. Menurutnya, menghilangkan pengertian-pengertian yang sudah usang dalam dirinya merupakan kebaikan yang positif.
Husserl memahami filsafat sebagai analisis fenomenologis yang dimaksudkan untuk menemukan esensi-esensi di dalam pengalaman.
14. Bergson mengutarakan bahwa filsafat pada pokoknya merupakan disiplin intuitif, sebab akal memfalsifikasikan kenyataan. Kendati demikian, kalau dinamisme intuisi diberikan peranan sentral, kentaralah hakikat statis akal akan berguna dalam memperkirakan apa yang akan dicapai secara intuitif.
15. Pada hemat Cassirer, filsafat bertugas menelusuri perkembangan bentuk simbolis dalam semua bidang pemikiran sebagai ungkapan kemanusiaan.
16. Schlick menemukan dua tugas untuk filsafat. Pertama, eksplorasi logika ilmu pengetahuan ; kedua, pemurnian bahas filosofis.
17. C.D. Broad membedakan antara filsafat spekulatif dan filsafat kritis. Menurutnya, ia sen diri bertugas menguraikan banyak alternatif bagi problem-problem pokok. Jadi, memberi sumbangan kepada bidang filsafat kritis.
18. Pada hemat Heidegger, filsafat bertujuan menemukan kembali makna Being, suatu warisan yang menurutnya dianut oleh filsafat Yunani kuno dulu.
19. Wittgenstein pada awalnya memandang filsafat sebagai analisis yang tidak terlalu penting. Mirip dengan pernyataan John Wisdom bahwa ”filsafat adalah penyakit yang disembuhkan”. Tetapi kemudian ia melihat bahwa filsafat mempunyai peranan dalam menganalisis kelompok-kelompok konsep.
20. Ryle malihat fungsi filsafat sebagai analisis category mistakes (kekeliruan kategori). Menurutnya, banyak filsuf jatuh ke dalam category mistakes ini.



Bidang Filsafat
Bidang filsafat tergantung baik pada proses perkembangan sejarah maupun pada prinsip pembagian yang diangkat oleh para filsuf. Faktor-faktor ini juga mempengaruhi persetujuan (kesepakatan) mengenai garis-garis antara filsafat dan disiplin-disiplin lain.
1. Aristoteles memasukkan ke dalam bidang filsafat: logika, etika, estetika, psikologi, filsafat politik, fisika, dan metafisika. Pembagiannya terhadap bidang-bidang ilmu, yang baginya sebagian besar merupakan pembagian filsafat, mempunyai tiga bagian: ilmu-ilmu teoritis, ilmu-ilmu praktis, dan ilmu-ilmu produktif.
2. Bagi Christian Wolff, dibang-bidang filsafat adalah logika, filsafat pertama, ontologi, teologi, kosmologi, psikologi rasional, etika, dan teori pengetahuan. Disiplin-disiplin ini dibaginya menjadi tiga bagian: teoritis, praktis, dan kriteriologis.
3. Bidang-bidang filsafat sekarang umum diketahui meliputi kebanyakan disiplin yang disebutkan diatas tadi, meski ada kecualian. Fisika dan psikologi telah mendapat privilesenya sendiri. Filsafat sering dianggap sebagai ilmu politik. Teologi telah digantikan oleh filsafat agama.

Pemikiran dari Beberapa Tokoh

1. Socrates (469 – 399 SM)
Filsuf piawai dari Athena ini hidup pada masa filsafat hanya dipakai sebagai silat lidah oleh kaum Sofis. Kaum Sofis inilah yang membawa perubahan terhadap corak pemikiran filsafati yang semula terarah pada kosmos (alam semesta), menjadi corak berpikir filsafati yang terarah pada teori pengetahuan dan etika.
Kekacauan filsafat mulai timbul pada saat kaum Sofis memberikan kriteria yang berbada tentang dasar-dasar teori pengetahuan dan etika. Mereka tidak memiliki kesepakatan tentang dasar-dasar umum yang berlaku bagi kedua teori tersebut. Mereka hanya mencapai kata sepakat mengenai satu hal: kebenaran yang sesungguhnya tidak mungkin dapat tercapai, segala sesuatu hanya bersifat nisbi, oleh karena itu harus diragukan kebenarannya (skeptisisme).
Dalam situasi yang kacau itulah Socrates tampil ke arah filsafat untuk menghadapi pengaruh kaum Sofis. Metode yang dipakai Socrates menghadapi kelihaian silat lidah kaum Sofis itu dikenal dengan metode Dialektik-Kritis. Proses dialektik di sini mengandung arti ”dialog antara dua pendirian yang bertentangan ataupun merupakan perkembangan pemikiran dengan memakai pertemuan (interplay) antar ide”. Sedangkan sikap kritis itu berarti Socrates tidak mau menerima begitu saja sesuatu pengertian sebelum dilakukan pengujian untuk membuktikan benar atau salahnya. Oleh karena itu dalam melaksanakan metode Dialektik-Kritis ini, Socrates selalu meminta penjelasan tentang sesuatu pengetian dari orang yang dianggapnya ahlu dalam bidang tersebut. Misalnya saja, ia bertanya kepada seorang seniman tentang apa yang dimaksud dengan ”keindahan”, kepada seorang panglima ia bertanya tentang apa yang dimaksud ”keberanian”, kepada seorang pemimpin ia menanyakan masalah ”keadilan”, dan lain-lain.
Setelah diperoleh penjelasan tentang pengertian tersebut dari ahlinya, Socrates kemudian mengajukan serangkaian pertanyaan mengenai dasar-dasar pemikiran para ahli itu, apa alasan mereka sehingga berpandangan demikian. Jadi Socrates selalu menuntut kemampuan para ahli untuk mempertanggungjawabkan pengetahuan dengan alasan yang benar. Apabila diperoleh jawaban yang memang didukung alasan yang benar, maka ide yang telah teruji tadi akan diterimanya sebagai pengetahuan yang benar untuk sementara sebelum dilakukan pengujian lebih lanjut melalui cara perbandingan (komparasi). Akan tetapi apabila orang yang diajak berdialog itu tidak sanggup mengajukan alasan yang benar mengenai pengertian yang diungkapkannya, maka ide yang dilontarkannya akan disisihkan oleh Socrates, karena dianggapnya tidak mencerminkan realitas yang sesungguhnya.
Dengan memakai metode Dialektik-Kritis ini Socrates berhasil mengalahkan kaum Sofis dalam banyak perdebatan yang mereka lakukan. Di sini kita melihat, tujuan utama Socrates adalah menjernihkan pelbagai pengertian yang selama ini dikacaukan oleh kaum Sofis. Atau dengan kata lain, metode Dialektik-Kritis yang dipakai Socrates itu dimaksudkan untuk menyembuhkan (therapy) kekacauan yang terjadi dalam arena filsafat pada masa itu, yang ditimbulkan oleh kaum Sofis. Aspek penyembuhan yang terdapat dalam filsafat Socrates ini, kelak akan mewarnai pula corak pemikiran para tokoh analitika bahasa yang berupaya menjernihkan pemakaian bahasa dalam filsafat. Perbedaanya hanya terletak pada kaum yang mereka tentang. Apabila Socrates menetnag segala ”omong kosong” dari kaum Sofis, maka para tokoh analitika bahasa menentang segala macam ungkapan yang tidak bermakna dari kaum Idealis.
Persamaan lainnya yang terdapat antara Socrates dengan para tokoh analitika bahasa adalah, tidak mempunyai sudut pandang (objek formal) sendiri tentang masalah yang diperbincangkan. Sebab baik Socrates maupun para tokoh analitika bahasa hanya menanggapi pendapat orang lain tentang sesuatu hal, dan mempersoalkan arti yang diajukan, apa alasan mereka mengatakan demikian. Kedua hal tersebut –aspek penyembuhan terhadap kekacauan dalam filsafat dan tidak memiliki objek formal sendiri- menunjukkan pada kita bahwa Socrates termasuk salah seorang penyebar benih MAB yang paling handal pada zamannya.

2. Plato (427 – 347 SM)
Plato (bahasa Yunani Πλάτων) (lahir sekitar 427 SM - meninggal sekitar 347 SM) adalah filsuf Yunani yang sangat berpengaruh, murid Socrates dan guru dari Aristoteles. Karyanya yang paling terkenal ialah Republik (dalam bahasa Yunani Πολιτεία atau Politeia, "negeri") di mana ia menguraikan garis besar pandangannya pada keadaan "ideal". Dia juga menulis 'Hukum' dan banyak dialog di mana Socrates adalah peserta utama.
Sumbangsih Plato yang terpenting tentu saja adalah ilmunya mengenai ide. Dunia fana ini tiada lain hanyalah refleksi atau bayangan daripada dunia ideal. Di dunia ideal semuanya sangat sempurna. Hal ini tidak hanya merujuk kepada barang-barang kasar yang bisa dipegang saja, tetapi juga mengenai konsep-konsep pikiran, hasil buah intelektual. Misalkan saja konsep mengenai "kebajikan" dan "kebenaran".
Salah satu perumpamaan Plato yang termasyhur adalah perumpaan tentang orang di gua.
Ada yang berpendapat bahwa Plato adalah filsuf terbesar dalam sejarah manusia. Semua karya falsafi yang ditulis setelah Plato, hanya merupakan "catatan kaki" karya-karyanya saja.
Ciri Plato ialah sikap kejiwaan yang terbuka, yang sejalan dengan sikap kejiwaan Socrates beritikad menggugah orang lain agar berpikir, dan tidak memaksakan orang lain agar menerima begitu saja sesuatu ajaran yang telah dibakukan. Plato senantiasa mengajarkan agar orang berpangkal pada sesuatu yang terdapat di atas kenyataan duniawi, namun sekaligus berpegang erat pada kenyataan duniawi. Keadaan ini harus senantiasa ditinjau dari segi idea-idea. Ajarannya tidak berkecenderungan untuk memandang dunia sebagai sesuatu yang buruk: dunia merupakan sesuatu yang harus diatur oleh manusia. Kitab-kitabnya yang berjudul Negara dan Hukum memperlihatkan bahwa Plato tidak mengajarkan manusia melarikan diri dari kenyataan duniawi. Isi pemikiran Plato ialah pemikiran mengenai idea.
Dengan demikian idea-idea merupakan gambaran-gambaran pikiran yang memimpin pemikiran kita. Idea-idea ini bukan merupakan gambaran-gambaran pikiran yang kita ciptakan, melinkan tampil dalam pikiran kita secara murni dengan sifat-sifatnya yang abadi serta tak berubah-ubah. Jika orang yang satu berbeda dengan orang yang lain, maka yang demikian ini disebabkan setiap orang dengan caranya masing-masing ambil bagian dalam idea manusia. Idea ini bersifat abadi dan tak berubah-ubah, namun tak pernah diwujudkan secara penuh oleh manusia yang manapun. Itu sebabnya terdapat perbedaan dalam bangun tubuh serta watak, dan itulah pula sebabnya manusia dapat berubah-ubah dan mati.
Idea tertinggi adalah idea kebaikan, yang menyebabkan segenap idea ynag lain dapat diketahui. Plato menegaskan bahwa manusia begitu terkaitnya pada dunia tangkapan inderawi, sehingga sukar sekali baginya untuk mendaki ke dalam dunia idea. Untuk dapat naik memasuki alam idea tersebut diperlukan pengerahan tenaga kejiwaan yang besar, yang mengharuskan menunggalkan segenap kebiasaan hidupnya, dan hanya sedikit orang yang dapat menghasilkan tenaga yang diperlukan itu. Lebih-lebih karena masyarakat sekelilingnya tidak memahami pemikir ini, serta memandangnya sebagai manusia khas yang asing bagi dunia.
Di dalam karya-karya yang ditulisnya kemudian Plato menyelidiki kesulitan-kesulitan yang dapat diajukan terhadap ajarannya mengenai idea. Dengan demikian ia mendahului Aristoteles yang di hari kemudian juga mengajukan keberatan-keberatannya. Maka ia berusaha mendalami lebih lanjut serta mengkongkretkan ajaran mengenai idea. Sementara manusia tetap merupakan masalah utama, matematika serta ilmu alam senantiasa memperoleh peran yang semakin besar. Di dalam Timaeus, yang berperan besar pada jaman pertengahan, Plato memaparkan kosmologinya. Gerak melingkar benda-benda angkasa menyingkapkan tatanan yang sempurna dalam makrokosmos, manusia, mikrokosmos, harus meniru tatanan di dalam dirinya sendiri. Bahwasannya usaha Plato untuk mencapai dunia adil-inderawi sama sekali tidak berarti melarikan diri dari dunia, yampak secara paling jelas dari kedua karyanya yang terbesar, yang berjudul Negara dan Hukum, yang menghendaki untuk memberikan bentuk yang sebaik-baiknya pada dunia manusiawi yang kongkret. Sementara itu Plato tetap menginsyafi, nahwa tak mungkin orang dapat mencapai kesempurnaan, sehingga yang pokok ialah bukannya suatu negara yang sempurna, melainkan suatu negara yang sebaik mungkin.
Seperti halnya bagi setiap orang Yunani yang hidup pada masa jayanya Yunani, juga bagi Plato etika dan filsafat negara berkaitan erat. Wajib susila manusia senantiasa bertalian dengan kewarganegaraannya, kedudukannya sebagai anggota negara kota polis. Kehidupan manusiawi yang berharkat hanya dapat dicapai dengan ikut serta secara aktif dalam kehidupan polis. Sebagai akibat adanya pertalian tersebut, maka pandangan mengenai negara senantiasa merupakan pandangan mengenai kesusilaan para warganya, sedangkan kesusilaan warga negara senantiasa berpulang pada pandangan mengenai jiwa manusia. Plato memandang jiwa manusia terpenjara dalam rfaganya. Tetapi berbeda dengan Aristoteles di kemudian hari, ia memandang jiwa manusia tidak sebagai suatu asas tunggal, melainkan swbagai jiwa yang rangkap tiga.
Bagian tertinggi jiwa ialah akal budi, yang tertuju untuk menatap idea serta memberikan pimpinan atas segenap kegiatan manusia, apabila jiwa ini teratur secara baik. Berlawanan dengan bagian ini terdapat bagian jiwa yang didiami oleh nafsu. Dalam dirinya bagian ini tidak teratur dan harus ditertibkan oleh akal budi. Tetapi akal budi tidak dapat secara langsung menertibkannya, melainkan hanya dengan perantaraan bagian tengah jiwa yang didiami oleh rasa-rasa yang lebih tinggi: rasa ingin dihormati, rasa birahi, rasa amarah yang dapat dibenarkan, dan sebagainya. Demikianlah akal budi berusaha mengendalikan rasa-rasa yang lebih rendah dengan menggunakan rasa-rasa yang leboh tinggi, yang dapat secara langsung menanganinya. Dalam hal ini Plato menarik konsekuensi-konsekuensi yang amat penting bagi pendidikan. Pendidikan bukan hanya merupakan urusan akal budi, melainkan urusan pimpinan yang lurus yang dilakukan oleh rasa-rasa yang lebih tinggi. Rasa-rasa ini harus diatur sedemikian rupa sehingga secara sertamerta diberi arah oleh akal budi, dan dengan demikian pada gilirannya memberikan pengarahan kepada rasa-rasa yang lebih rendah. Secara sendirian akal budi tidak berdaya. Ia harus didukung oleh rasa-rasa yang lebih tinggi yang mempunyai arah yang lurus.
Filsafat Plato merupakan suatu upaya raksasa untuk menjembatani pertentangan pendirian diantara tokoh-tokoh yang mendahuluinya. Plato mencoba untuk menghindari dilema yang dihadapi oleh Zeno dari Elea, dengan jalan memberikan bentuk kenyataan sendiri-sendiri kepada yang berubah dan yang tetap. Berdasar atas ajaran kaum Sofis dan Socrates ia mengajarkan agar memandang segala masalah dari segi kehidupan manusia. Ternyata ada juga peyelesaian-penyelesaian lain yang tidak seperti pandangan Plato. Dihari kemudian Aristoteles bertolak dari pertanyaan, hakekat kenyataan apakah yang sesungguhnya dipunyai oleh idea. Namun hal in i tidak menghilangkan kenyataan bahwa gagasan Plato mengenai ikut ambil bagiannya(=methexis) segenap hal yang terdapat di atas bumi dalam suatu kenyataan yang lebih tinggi akan tetap merupakan masalah pokok dalam filsafat, dan bahwa ethosnya masih tetap akan mempunyai pengaruh yang membangkitkan gairah.

3. Aristoteles (384 – 322 SM)

Aristoteles (Bahasa Yunani: ‘Aριστοτέλης Aristotélēs), adalah seorang filsuf Yunani, murid dari Plato dan guru dari Alexander yang Agung. Ia menulis berbagai subyek yang berbeda, termasuk fisika, metafisika, puisi, logika, retorika, politik, pemerintahan. etnis, biologi dan zoologi. Bersama dengan Socrates dan Plato, ia dianggap menjadi seorang di antara tiga orang filsuf yang paling berpengaruh di pemikiran Barat. Hasil ciptaan Aristoteles adalah logika formal, yang dirintis oleh retorika kaum sofis dan dialektika yang umum digunakan untuk menimbang-nimbang pada masa hidup Plato. Inti pokok logika Aristoteles adalah ajarannya mengenai penalaran dan pembuktian. Baginya penalaran pertama-tama berupa silogisme, yang di dalamnya berdasar dua buah tanggapan orang menyimpulkan tanggapan ketiga. Untuk dapat secara lurus melakukan penyimpulan ini, perlu diketahui mengenai hakekat tanggapan. Ada tanggapan yang mengukuhkan dan tanggapan yang mengingkari; ada tanggapan singular, partikular dan umum. Tanggapan-tanggapan ini dapat dihubungkan yang satu dengan yang lain dengan berbagai cara. Selanjutnya setiap tanggapan mengandaikan pengertian-pengertian yang menyusunnya. Setiap tanggapan terdiri dari dua buah pengertian (subjek dan predikat) yang dihubungkan atau dipisahkan dengan perantara suatu pengertian yang bersifat menghubungkan atau memisahkan (copula dengan atau tanpa pengingkaran). Hal ini sekali lagi memerlukan telaah mengenai pengertian-pengertian, yang oleh Aristoteles dicoba untuk menunjukkan jenis-jenisnya dalam berbagai karya, dan pembagian dalam jenis-jenis ini tidak selalu sama. Yang paling jauh pengolahannya terdapat dalam kitabnya Kategoria, yang didalamnya disamping substansia (= ousia) yang merupakan yang-hakiki, disebutkan sembilan buah kategoria lain yang menunjukkan yang- kebetulan, yaitu : kuantitas, kualitas, hubungan, tempat, waktu, kedudukan, keadaan, aktivitas, pasivitas. Pertama-tama substansia yang lain. Inilah yang menyebabkan sejumlah substansia (umpamanya, segenap manusia) termasuk dalam jenis yang sama (manusia). Pengertian : ”jenis” (= eidos) ini adalah suatu bentuk ajaran Aristoteles yang sama dengan idea menurut ajaran Plato. Selanjutnya sejumlah jenis dapat mempunyai kesamaan dalam segi-seginya yang hakiki, dan secara demikian terbentuklah suatu keluarga (=genos). Logika ajaran Aristoteles belum bersifat tertutup. Sifat ini baru diperolehnya pada ajaran Theophrastos dan tetap demikian sampai abad ke-19.
Dalam ajarn Aristoteles tidak selalu dapat dengan jelas dipilahkan antara fisika (=ajaran mengenai lingkungan jasadi) dengaan metafisika (=ajaran mengenai ada sebagai ada). Yang menjadi titik tolak metafisika Aristoteles ialah kecamannya terhdap ajaran idea Plato. Tetapi kecamaan ini sekaligus hendak mempertahaankan ide ungkapan yang-umum serta hendak mempertahankan pengutamaan yang-umum. Namun yang benar-benar berada secara kongkret bukanlah yang-umum, melainkan yang-satu demi satu atau yang-orang seorang : bukannya manusia yang berada, melainkan manusia ini yang berada. Maka timbul 2 macam pertanyaan : jika demikian halnya, apakah yang menyebabkan kita dapat berbicara mengenai manusia pada umumnya, dan apakah yang menyebabkan manusia ini merupakan manusia ini ? Dalam hal ini metafisika dan logika merupakaan satu kesatuan. Kita dapat berbicara mengenai manusia sebagai manusia, karena menurut hakekatnya (sebagai jenis) manusia-manusia itu sesuai. Perbedaan diantara manusia yang satu dengaan manusia yang lain terletak pada sifatnya yang kebetulan dan didasarkan atas materia.
Dengan demikian Aristoteles adalah orang pertama yang mengembangkan pengertian ”materia” yang bersifat kefilsafatan. Seperti halnya pendapat Plato, juga menurut Aristoteles ada dua macam pengetaahuan : pengetahuan inderawi dan pengetahuan akali. Hanya saja bagi Aristoteles keduanya sama-sama nyata. Pengetahuan inderawi merupakan hasil tangkapan keadaan yang kongkret benda tertentu; pengetahuan akali merupakan hasil tangkapan hakekat, jenis benda tertentu. Pengetahuan inderawi mengaraah kepada ilmu pengetahuan, namun ia sendiri bukan ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan hanya terdiri dari pengetahuan akali. Itulah sebabnya baik menurut Aristoteles maupun menurut Plato, tidak mungkin terdapat ilmu pengetahuan mengenai hal-hal yang kongkret, melainkan yang ada hanyalah ilmu pengetahuan mengenai hal-hal yang umum.
Cara umum Aristoteles membedakan empat macam penyebab (=aitia) : bentuk, materia, penyebab berupa tujuan (yaitu sesuatu yang dituju oleh gerak) dan penyebab karya (yaitu sesuatu yang menimbulkan gerak). Acapkali penyebab-penyebab ini bertepatan : bagi makhluk hidup, benttuknya, umpamanya, sekaligus merupakan tujuan yang hendak dicapainya. Mengenai peran penyebab karya, pendapat Aristoteles tidak begitu jelas, mungkin justru karena ia sangat menentang citra dunia sebagai mesin yang diajarkan oleh Democritus.
Yang amat penting ialah ajaran Aristoteles mengenai nyawa, terutama dalam hal ini dapat diikuti secara jelas perkembangan ajarannya yang bertolak dari pendirian Plato sampai pada pendiriannya senddiri. Berangkat dari dualisme ajaran Plato, melalui ajaran mekanisme yang dianutnya sementara, Aristoteles tiba pada kenyataan adanya kesatuan hakiki antara nyawa dengan tubuh. Nyawa adalah bentuk tubuh, dan karenanya bersama dengan tubuh merupakan suatu kesatuan tak terceraikan. Manakala nyawa sebagai asas hidup berssifat fana, maka Aristoteles berkeyakinan mengenai keabadian jiwa manusia. Mengenai hubungan antara nyawa dengan jiwa, Aristoteles tidak dapat memberikan penjelasan.



4. Ibnu Sina (980 – 1037)
Ibnu Sina dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan). Beliau juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan pengobatan. Bagi banyak orang, beliau adalah "Bapak Pengobatan Modern" dan masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran. Karyanya yang sangat terkenal adalah Qanun fi Thib yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.
Ibnu Sina bernama lengkap Abū ‘Alī al-Husayn bin ‘Abdullāh bin Sīnā (Persia ابوعلى سينا Abu Ali Sina atau dalam tulisan arab : أبو علي الحسين بن عبد الله بن سينا). Ibnu Sina lahir pada 980 di Afsyahnah daerah dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan (kemudian Persia), dan meninggal pada bulan Juni 1037 di Hamadan, Persia (Iran).
Dia adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak diantaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Dia dianggap oleh banyak orang sebagai "bapak kedokteran modern." George Sarton menyebut Ibnu Sina "ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua bidang, tempat, dan waktu." pekerjaannya yang paling terkenal adalah The Book of Healing dan The Canon of Medicine, dikenal juga sebagai sebagai Qanun (judul lengkap: Al-Qanun fi At Tibb).
Awal Kehidupan
Kehidupannyan dikenal lewat sumber - sumber berkuasa. Suatu autobiografi membahas tiga puluh tahun pertama kehidupannya, dan sisanya didokumentasikan oleh muridnya al-Juzajani, yang juga sekretarisnya dan temannya.
Ibnu Sina lahir pada tahun 370 (H) / 980 (M) di rumah ibunya Afshana, sebuah kota kecil sekarang wilayah Uzbekistan (bagian dari Persia). Ayahnya, seorang sarjana terhormat Ismaili, berasal dari Balkh Khorasan, dan pada saat kelahiran putranya dia adalah gubernur suatu daerah di salah satu pemukiman Nuh ibn Mansur, sekarang wilayah Afghanistan (dan juga Persia). Dia menginginkan putranya dididik dengan baik di Bukhara.
Meskipun secara tradisional dipengaruhi oleh cabang Islam Ismaili, pemikiran Ibnu Sina independen dengan memiliki kepintaran dan ingatan luar biasa, yang mengizinkannya menyusul para gurunya pada usia 14 tahun.
Ibnu Sina dididik dibawah tanggung jawab seorang guru, dan kepandaiannya segera membuatnya menjadi kekaguman diantara para tetangganya; dia menampilkan suatu pengecualian sikap intellectual dan seorang anak yang luar biasa kepandaiannya / Child prodigy yang telah menghafal Al-Quran pada usia 5 tahun dan juga seorang ahli puisi Persia. Dari seorang pedagan sayur dia mempelajari aritmatika, dan dia memulai untuk belajar yang lain dari seorang sarjana yang memperoleh suatu mata pencaharian dari merawat orang sakit dan mengajar anak muda.
Meskipun bermasalah besar pada masalah - masalah metafisika dan pada beberapa tulisan Aristoteles. Sehingga, untuk satu setengah tahun berikutnya, dia juga mempelajari filosofi, dimana dia menghadapi banyak rintangan. pada beberapa penyelidikan yang membingungkan, dia akan meninggalkan buku - bukunya, mengambil air wudhu, lalu pergi ke masjid, dan terus sholat sampai hidayah menyelesaikan kesulitan - kesulitannya. Pada larut malam dia akan melanjutkan kegiatan belajarnya, menstimulasi perasaannya dengan kadangkala segelas susu kambing, dan meskipun dalam mimpinya masalah akan mengikutinya dan memberikan solusinya. Empat puluh kali, dikatakan, dia membaca Metaphysics dari Aristoteles, sampai kata - katanya tertulis dalam ingatannya; tetapi artinya tak dikenal, sampai suatu hari mereka menemukan pencerahan, dari uraian singkat oleh Farabi, yang dibelinya di suatu bookstall seharga tiga dirham. Yang sangat mengagumkan adalah kesenangannya pada penemuan, yang dibuat dengan bantuan yang dia harapkan hanya misteri, yang mempercepat untuk berterima kasih kepada Allah SWT, dan memberikan sedekah atas orang miskin.
Dia mempelajari kedokteran pada usia 16, dan tidak hanya belajar teori kedokteran, tetapi melalui pelayanan pada orang sakit, melalui perhitungannya sendiri, menemukan metode - metode baru dari perawatan. Anak muda ini memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan pada usia 18 tahun dan menemukan bahwa "Kedokteran tidaklah ilmu yang sulit ataupun menjengkelkan, seperti matematika dan metafisika, sehingga saya cepat memperoleh kemajuan; saya menjadi dokter yang sangat baik dan mulai merawat para pasien, menggunakan obat - obat yang sesuai." Kemasyuran sang fisikawan muda menyebar dengan cepat, dan dia merawat banyak pasien tanpa meminta bayaran.
Pekerjaan pertamanya menjadi fisikawan untuk emir, yang diobatinya dari suatu penyakit yang berbahaya. Majikan Ibnu Sina memberinya hadiah atas hal tersebut dengan memberinya akses ke perpustakaan raja Samanids, pendukung pendidikan dan ilmu. Ketika perpustakaan dihancurkan oleh api tidak lama kemudian, musuh - musuh Ibnu Sina menuduh din oa yang membakarnya, dengan tujuan untuk menyembunyikan sumber pengetahuannya. Sementara itu, Ibnu Sina membantu ayahnya dalam pekerjaannya, tetapi tetap meluangkan waktu untuk menulis beberapa karya paling awalnya.
Ketika Ibnu Sina berusia 22 tahun, ayahnya meninggal.Samanid dynasty menuju keruntuhannya pada Desember 1004. Ibnu Sina menolak pemberian Mahmud of Ghazni, dan menuju kearah Barat ke Urgench di Uzbekistan modern, dimana vizier, dianggap sebagai teman seperguruan, memberinya gaji kecil bulanan. Tetapi gajinya kecil, sehingga Ibnu Sina mengembara dari satu tempat ke tempat lain melalui distrik Nishapur dan Merv ke perbatasan Khorasan, mencari suatu opening untuk bakat - bakatnya. Shams al-Ma'äli Qäbtis, sang dermawan pengatur Dailam, seorang penyair dan sarjana, yang mana Ibn Sina mengharapkan menemukan tempat berlindung, dimana sekitar tahun (1052) meninggal dibunuh oleh pasukannya yang memberontak. Ibnu Sina sendiri pada saat itu terkena penyakit yang sangat parah. Akhirnya, di Gorgan, dekat Laut Kaspi, Ibnu Sina bertamu dengan seorang teman, yang membeli sebuah ruman didekat rumahnya sendiri idmana Ibnu Sina belajar logika dan astronomi. Beberapa dari buku panduan Ibnu Sina ditulis untuk orang ini ; dan permulaan dari buku Canon of Medicine juga dikerjakan sewaktu dia tinggal di Hyrcania.
Kematian
Ibnu Sina wafat pada tahun 1037 M di Hamadan, Iran, karena penyakit maag yang kronis. Beliau wafat ketika sedang mengajar di sebuah sekolah.
Karya Ibnu Sina
Qanun fi Thib (Canon of Medicine)(Terjemahan bebas:Aturan Pengobatan)
Asy Syifa (terdiri dari 18 jilid berisi tentang berbagai macam ilmu pengetahuan)
An Najat

5. Ibnu Rusyd (1126 – 1198)
Ibnu Rusyd (1126 - Marrakesh, Maroko, 10 Desember 1198) dalam bahasa Arab ابن رشد dan dalam bahasa Latin Averroes, adalah seorang filsuf dari Spanyol (Andalusia).
Singkat
Abu Walid Muhammad Ibnu Rushd lahir di Kordoba (Spanyol) pada tahun 520 Hijriah (1128 Masehi). Ayah dan kakek Ibnu Rusyd adalah hakim-hakim terkenal pada masanya. Ibnu Rusyd kecil sendiri adalah seorang anak yang mempunyai banyak minat dan talenta. Dia mendalami banyak ilmu, seperti kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami filsafat dari Abu Ja'far Harun dan Ibnu Baja.
Ibnu Rusyd adalah seorang jenius yang berasal dari Andalusia dengan pengetahuan ensiklopedik. Masa hidupnya sebagian besar diberikan untuk mengabdi sebagai "Kadi" (hakim) dan fisikawan. Di dunia barat, Ibnu Rusyd dikenal sebagai Averroes dan komentator terbesar atas filsafat Aristoteles yang mempengaruhi filsafat Kristen di abad pertengahan, termasuk pemikir semacam St. Thomas Aquinas. Banyak orang mendatangi Ibnu Rusyd untuk mengkonsultasikan masalah kedokteran dan masalah hukum.

Pemikiran Ibnu Rusyd
Karya-karya Ibnu Rusyd meliputi bidang filsafat, kedokteran dan fikih dalam bentuk karangan, ulasan, essai dan resume. Hampir semua karya-karya Ibnu Rusyd diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Ibrani (Yahudi) sehingga kemungkinan besar karya-karya aslinya sudah tidak ada.
Filsafat Ibnu Rusyd ada dua, yaitu filsafat Ibnu Rusyd seperti yang dipahami oleh orang Eropa pada abad pertengahan; dan filsafat Ibnu Rusyd tentang akidah dan sikap keberagamaannya.

6. Blaise Pascal
Blaise Pascal (1623-1662) berasal dari Perancis. Minat utamanya ialah filsafat dan agama, sedangkan hobinya yang lain adalah matematika dan geometri proyektif. Bersama dengan Pierre de Fermat menemukan teori tentang probabilitas. Pada awalnya minat riset dari Pascal lebih banyak pada bidang ilmu pengetahuan dan ilmu terapan, di mana dia telah berhasil menciptakan mesin penghitung yang dikenal pertama kali. Mesin itu hanya dapat menghitung.
7. Rene Descartes (1596 – 1650)

René Descartes (La Haye, Perancis, 31 Maret 1596Stockholm, Swedia, 11 Februari 1650), juga dikenal sebagai Cartesius, merupakan seorang filsuf dan matematikawan Perancis. Karyanya yang terpenting ialah Discours de la méthode (1637) dan Meditationes de prima Philosophia (1641).
Descartes, kadang dipanggil "Penemu Filsafat Modern" dan "Bapak Matematika Modern", adalah salah satu pemikir paling penting dan berpengaruh dalam sejarah barat modern. Dia menginspirasi generasi filsuf kontemporer dan setelahnya, membawa mereka untuk membentuk apa yang sekarang kita kenal sebagai rasionalisme kontinental, sebuah posisi filosofikal pada Eropa abad ke-17 dan 18.
Pemikirannya membuat sebuah revolusi falsafi di Eropa karena pendapatnya yang revolusioner bahwa semuanya tidak ada yang pasti, kecuali kenyataan bahwa seseorang bisa berpikir.
Dalam bahasa Latin kalimat ini adalah: cogito ergo sum sedangkan dalam bahasa Perancis adalah: Je pense donc je suis. Keduanya artinya adalah:
"Aku berpikir maka aku ada". (Ing: I think, therefore I am)
Meski paling dikenal karena karya-karya filosofinya, dia juga telah terkenal sebagai pencipta sistem koordinat Kartesius, yang mempengaruhi perkembangan kalkulus modern. Filsuf Perancis ini dijuluki sebagai ”Bapak filsafat modern”, karena ia menempatkan akal pikir (rasio) pada kedudukan yang tertinggi, satu hal yang memang didambakan oleh manusia dijaman modern. Fisafat Descartes (terutama konsep tentang manusia) bersifat dualisme. Ia menganggap jiwa (res-cogitans) dan badan (res-extensa) sebagi dua hal yang terpisah. Konsep Descartes tentang manusia ini kelak akan dikritik habis-habisan oleh salah seorang tokoh aliran Filsafat Bahasa Biasa, Gilbert-Ryle. Jadi tanpa disadari, barangkali juga tidak dikehendakinya, Descartes telah memberikan rangsangan pada Ryle untuk mengkritik konsep ten tang manusia itu menurut kacamata analisis bahasa.
Sumbangsih Descartes yang paling besar bagi dunia filsafat pada umumnya terletak pada metode skeptis (keragu-raguan metodis) sebagai upaya untuk memperoleh kebenaran. Menurut Descrates, untuk memperoleh pengetahuan yang terang dan jelas maka terlebih dahulu kita harus meragukan segala sesuatu. Bagi Descartes, ”pengertian yang benar haruslah dapat menjamin dirinya sendiri”. Untuk mendapatkan suatu pengetahuan yang tidak diragukan lagi kebenarannya, Descartes menggariskan empat langkah/ aturan sebagai berikut:
Kita harus menghindari sikap tergesa-gesa dan prasangka dalam mengambil suatu keputusan, dan hanya menerima yang dihadirkan pada akal secara jelas dan tegas sehingga mustahil disangsikan.
Setiap persoalan yang diteliti, dibagikan dalam sebanyak mungkin bagi sejauh yang diperlukan bagi pemecahan yang memadai.
Mengatur pikir sedemikian rupa dengan bertitik tolak dari objek yang sederhana sampai pada objek yang lebih kompleks. Atau dari pengertian yang sederhana dan mutlak sampai pada pengertian yang komplek dan nisbi.
Setiap permasalahan ditinjau secara universal atau menyeluruh, sehingga tidak ada yang dilalaikan.
Langkah-langkah yang diajukan Descartes dalam upaya untuk memperoleh kebenaran ini pada prinsipnya bersifat analitik, terutama langkah kedua dan ketiga. Prinsip yang demikian itu dapat kita jumpai pula dalam pemikiran para tokoh analitika bahasa, khususnya dalam konsep Atomisme Logik Russel dan Wittgenstein. Kedua tokoh ini meyakini bahwa realitas itu dapat dipecah menjadi beberapa fakta atomik. Setiap fakta atomik dapat diungkapkan ke dalam proposisi elementer, dan sesuai dengan objek utamanya yaitu bahasa, maka para tokoh analitika bahasa itu tidaklah mengarahkan teknik analisis itu pada fakta atomik sebagai objek pembahasan, melainkan pada proposisi elementer. Akan tetapi perbedaan yang paling jelas antara penerapan teknik analisis Descartes dengan para tokoh analitika bahasa yaitu, ”Descartes menggunakan jalan akal yang natural, tanpa teknis logis”. Sedangkan pada tokoh analitika bahasa (terutama Atomisme Logik) menerapkan prinsis analitik itu berdasarkan teknik logis.
Sikap skeptis metodis yang dicanangkan Descartes itu juga turut mewarnai corak pemikiran para tokoh analitika bahasa yang meragukan ungkapan-ungkapan dalam filsafat. Walau sikap skeptis itu oleh para tokoh analitika bahasa diarahkan pada bahasa, bukan pada realitas sebagaimana halnya dengan Descartes, namun tetap merupakan masukan yang sangat berharga, bahkan dalam bidang filsafat pada umumnya. Dengan cara meragukan setiap ungkapan filsafat, terutama dalam bidang metafisika dan teologi, para tokoh analitika bahasa berupaya menentukan kriteria yang tegas antara ungkapan yang bermakna dan ungkapan yang tidak bermakna. Dalam hal ini mereka berhutang budi pada Descartes.

8. David Hume (1711 – 1776)
David Hume (26 April, 171125 Agustus, 1776) adalah filusuf Skotlandia, ekonom, dan sejarawan. Dia dimasukan sebagai salah satu figur paling penting dalam filosofi barat dan Pencerahan Skotlandia. Walaupun kebanyakan ketertarikan karya Hume berpusat pada tulisan filosofi, sebagai sejarawanlah dia mendapat pengakuan dan penghormatan. Karyanya The History of England merupakan karya dasar dari sejarah Inggris untuk 60 atau 70 tahun sampai Karya Macaulay.
Hume merupakan filusuf besar pertama dari era modern yang membuat filosofi naturalistis. Filosofi ini sebagian mengandung penolakan prevalensi dalam konsepsi dari pikiran manusia merupakan miniatur dari kesadaran suci; sebuah pernyataan Edward Craig yang dimasukan dalam doktrin 'Image of God'. Doktrin ini diasosiasikan dengan kepercayaan dalam kekuatan akal manusia dan penglihatan dalam realitas, dimana kekuatan yang berisi seritikasi Tuhan. Skeptisme Hume datang dari penolakannya atas ideal didalam'.
Hume sangat dipengaruhi oleh empirisis John Locke dan George Berkeley, dan juiga bermacam penulis berbahasa Perancis seperti Pierre Bayle, dan bermacam figur dalam landasan intelektual berbahasa inggris seperti Isaac Newton, Samuel Clarke, Francis Hutcheson, Adam Smith, dan Joseph Butler.
Tokoh emperisisme yang berasal dari Inggris ini menganggap penglaman sebagai sarana yang paling memadai untuk mencapai kebenaran. Bagi Hume, sumber segala pengertian filosofis itu adalah pengalaman inderawi yang meliputi isi pengertian, hubungan antara pengertian, serta kepastian pengertian. Pandangan yang demikian ini jelas bertentangan dengan pandangan Descartes yang lebih mempercayai akal sebagai sarana untuk mencapai kebenaran. Memang di sanalah letak pertentangan antara kaum rasionalisme dengan kaum empirisisme. Meski Hume mengakui bahwa sikap skeptis secara metodis dari Descartes berguna untuk memerangi metafisika, namun ia tidak mempercayai sikap skeptis itu dapat membahayakan common sense (akal sehat), sikap Hume yang secara tegas menolak metafisika itu kelak akan mewarnai pula corak pemikiran kaum Positivisme Logis.
Sumbangan Hume lainnya bagi pertumbuhan MAB adalah pandangannya mengenai ide sederhana dan ide kompleks. Bagi Hume ”ide yang sederhana itu adalah copy dari perasaan yang sederhana, dan ide yang kompleks dibentuk dari gabungan ide sederhana atau kesan yang komplek”. Pandangan Hume ini kelak akan diambil alih oleh Russel untuk menjelaskan ajarannya mengenai Atomisasi Logik, terutama pembahasan Russel tentang Particularia –mengandung pengertian serupa dengan ide sederhana dari Hume dan Universal– serupa dengan ide kompleks.
Selanjutnya, dalam upaya untuk menyingkirkan istilah-istilah kosong, Hume menunjukkan suatu cara pembersihan reduktif, artinya meneliti ide-ide komplek yang lazim digunakan, sejauh mana ide itu dapat dipertanggungjawabkan. Apakah ide-ide komplek itu dapat dikembalikan pada ide sederhana yang membentuknya. Jikalau suatu istilah tidak terbukti menyajikan ide yang dapat dianalisis menjadi komponen yang simple (ide sederhana), maka istilah itu tidak mempunyai arti.
Cara pembersihan reduktif yang diajukan Hume, akan dikembangkan oleh kaum Positivisme Logik dalam teknik analisis bahasa menjadi suatu prinsip pentasdikan (verifikasi). Perbedaannya, Hume tidaklah menerapkan cara pembersihan reduktif ini dalam lingkup bahasa, melainkan dalam lingkup kesan-kesan yang melulu didasarkan atas pengalaman. Sedangkan kaum Positivisme Logik, menerapkan prinsip pentasdikan ini dalam lingkup bahasa, yaitu meguji setiap pernyataan (statements), selain didasarkan atas pengamatan empirik juga didasarkan atas proposisi formal.

9. Immanuel Kant (1724 – 1804)

Immanuel Kant (Königsberg, 22 April 1724 - Königsberg, 12 Februari 1804) adalah seorang filsuf Jerman. Karya Kant yang terpenting adalah Kritik der Reinen Vernunft, 1781. Dalam bukunya ini ia “membatasi pengetahuan manusia”. Atau dengan kata lain “apa yang bisa diketahui manusia.” Ia menyatakan ini dengan memberikan tiga pertanyaan:
Apakah yang bisa kuketahui?
Apakah yang harus kulakukan?
Apakah yang bisa kuharapkan?
Pertanyaan ini dijawab sebagai berikut:
Apa-apa yang bisa diketahui manusia hanyalah yang dipersepsi dengan panca indria. Lain daripada itu merupakan “ilusi” saja, hanyalah ide.
Semua yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah peraturan umum. Hal ini disebut dengan istilah “imperatif kategoris”. Contoh: orang sebaiknya jangan mencuri, sebab apabila hal ini diangkat menjadi peraturan umum, maka apabila semua orang mencuri, masyarakat tidak akan jalan.
Yang bisa diharapkan manusia ditentukan oleh akal budinya. Inilah yang memutuskan pengharapan manusia.
Ketiga pertanyaan di atas ini bisa digabung dan ditambahkan menjadi pertanyaan keempat: “Apakah itu manusia?”
Filsuf Jerman kelahiran Konigsberg ini dikenal juga sebagai tokoh Kritisisme. Filsafat kritis yang ditampilkannya bertujuan untuk menjembatani pertentangan antara kaum Rasionalisme dengan kaum Empirisisme. Bagi Kant, baik Rasionalisme maupun Empirisisme belum berhasil membimbing kita untuk memperoleh pengetahuan yang pasti, berlaku umum, dan terbukti dengan jelas. Kedua aliran itu memiliki kelemahan yang justru merupakan kebaikan bagi seterusnya masing-masing.
Menurut Kant, pengetahuan yang dihasilkan oleh kaum Rasionalisme tercermin dalam putusan yang bersifat Analitik-Apriori, yaitu suatu bentuk putusan dimana predikat sudah termasuk dengan sendirinya ke dalam subjek. Putusan yang bersifat Analitik Apriori ini memang mengandung suatu kepastian dan berlaku umum, tetapi tidak memberikan sesuatu yang baru bagi kita. Sedangkan pengetahuan yang dihasilkan oleh kaum Empirisisme itu tercermin falam putusan yang bersifat Sintetik-Aposteriori, yaitu suatu bentuk putusan dimana predikat belum termasuk ke dalam subjek. Meski putusan yang bersifat Sintetik-Aposteriori ini memberikan pengetahuan yang baru bagi kita, namun sifatnya tidak tetap, sangat tergantung pada ruang dan waktu. Kebenaran di sini sangat bersifat Subjektif.
Dengan melihat kebaikan yang terdapat di antara dua putusan tersebut, serta kelemahannya sekaligus, Kant memadukan keduanya dalam suatu entuk putusan yang Sintetik-Apriori, yaitu suatu putusan yang bersifat umum-universal, dan pasti. Di dalam putusan Sintetik-Apriori ini, ”akal budi dan pengalaman inderawi dibutuhkan serentak”. Bagaimana cara kita untuk mendapatkan putusan Sintetik-Apriori? Dalam hal in i Kant menunjuk pada tiga bidang sebagai tahapan yang harus dilalui, yaitu:
Bidang Inderawi; di sini peranan subjek lebih menonjol, namun harus ada dua bentuk murni yaitu, ”ruang” dan ”waktu” yang dapat diterapkan dalam pengalaman. Hasil penerapan inderawi yang dikaitkan dengan bentuk ”ruang” dan ”waktu” ini merupakan fenomin konkret. Namun pengetahuan yang diperoleh dalam bidang inderawi ini selalu berubah-ubah tergantung pada subjek yang mengalami, dan situasi yang melingkupinya.
Bidang Akal; apa yang telah diperoleh melalui bidang inderawi tersebut –untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat objektif-universal –haruslah dituangkan ke dalam bidang akal. Di sini terkandung empat bentuk kategori –masing-masing terdiri ats tiga jenis – yang dapat menampung fenomin konkret yang didapatkan dari bidang inderawi itu tadi. Keempat bentuk kategori itu adalah:
1) Kategori Kuantitas, terdiri atas; singulir (kesatuan), partikular (sebagian), dan universal (umum).
2) Kategori Kualitas, terdiri atas; realitas (kenyataan), negasi (pengingkaran), limitas (batas-batas).
3) Kategori Relasi, terdiri atas; categoris (tidak bersyarat), hypothesis (sebab dan akibat), disjunctif (saling meniadakan).
4) Kategori Modalitas, terdiri atas; mungkin/tidak, ada/tiada, keperluan/kebetulan.
Bidang Rasio; pengetahuan yang telah diperoleh dalam bidang akal itu baru dapat dikatakan sebagai putusan Sintetik-Apriori, setelah dikaitkan dengan tiga macam ide yaitu, Allah (ide teologis), Jiwa (ide psikologis), dan Dunia (ide kosmologis). Namun ketiga macam ide itu sendiri tidak mungkin dapat dicapai oleh akal pikir manusia. Ketiga ide ini hanya merupakan petunjuk untuk menciptakan kesatuan pengetahuan.
Baik pengetahuan yang diperoleh dalam bidang inderawi, maupun yang diperoleh dalam bidang akal, keduanya mencerminkan langkah-langkah logis yang dengan sendirinya dapat diterima dalam pemikiran tokoh-tokoh MAB.Bukan disitu saja letak sumbangsih Kant bagi perkembangan MAB, namun keistimewaan lainnya adalah, kemampuannya untuk menjembatani dua corak pemikiran yang sangat berbeda antara Empirisisme dengan Rasionalisme menjadi kesatuan harmonis. Ini sungguh merupakan sumbangan yang sangat berharga bagi dunia filsafat secara umum. Sedangkan pengetahuan yang terletak dalam bidang rasio, mungkin tidak akan pernah digubris oleh kaum Atomisme Logik dan kaum Positivisme logik. Sebab Kant telah mengaitkan pengetahuan yang diperoleh secara logis itu dengan ”sesuatu” yang justru bersifat tidak logis yaitu, Allah, Jiwa, dan Dunia. Bagi kaum Atomisme Logik misalnya –terutama dalam pandangan Wittgenstein– ketiga ide itu dianggap sebagai ”sesuatu yang bersifat mistis” (mistically). Akan tetapi justru di sinilah letaknya keistimewaan Kant, sebab Kant sendiri mengakui bahwa akal manusia tidak akan pernah dapat mencapai ketiga macam ide tersebut. Ketiga macam ide itu hanya merupakan postulat yang mendasari suatu bentuk putusan Sintetik-Apriori. Satu hal yang tidak diragukan lagi, Kant telah menolak metafisika –dalam hal ini senada dengan kaum Positivisme Logik dan para tokoh analitika bahasa pada umumnya– bagi filsafat. Menurut Kant, ”metafisik ilmiah yang mengatasi pengalaman inderawi itu mustahil, sebab metafisik demikian hanya mengenai ”noumenon” (sesuatu yang tak teramati) bukan tentang ”fenomin” (sesuatu yang teramati).

10. George Edward Moore (1873 – 1958)

Filsuf Inggris yang satu ini harus kita pandang secara lebih istimewa daripada tokoh yang telah kita bicarakan sebelumnya. Sebab melalui pemikiran Moore inilah benih MAB yang disemaikan para filsuf sebelumnya mulai menampakkan tunasnya. Kendati Moore belum lagi mencanangkan analisis bahasa sebagai satu-satunya metode bagi filsafat, namun ia dapat dianggap sebagai pencetus gagasan bagi kehadiran MAB di adad keduapuluhan ini. Hal itu berkaitan erat dengan penentangan yang dilakukannya terhadap pengaruh filsafat kaum Hegelian di Inggris pada waktu itu. Dalam karyanya The Refutation of Idealisme, Moore menunjukkan bahwa titik kelemahan utama filsafat Idealisme –kaum Hegelian yang mendominasi corak pemikiran filsafat di Inggris sejak pertengahan abad kesembilanbelas hingga awal abad keduapuluhan– terlihat jelas pada pernyataan filsafat mereka yang tidak memiliki dasar logika sehingga tidak terfahami oleh akal sehat (common sense). Kritik yang dilancarkan Moore ini tidak saja berhasil mematahkan dominasi kaum Hegelian di Inggris, tetapi juga merupakan pertumbuhan awal gerakan baru dalam arena filsafat yang sangat berbeda dengan corak pemikiran filsafat sebelumnya. Gerakan baru ini kemudian lebih dikenal dengan nama Linguistic Analysis (Analisis Bahasa) atau Analytical Philosophy (MAB) ataupun Logical Analysis (Analisis Logika). Ketiga istilah yang berbeda itu pada hakikatnya mengandung pengertian yang sama yaitu, suatu pandangan yang berupaya menjelaskan (melalui analisis) penggunaan b ahasa dalam filsafat.
Dalam Principia Ethica, Moore menerapkan analisis bahasa ini terhadap konsep-konsep etika, yang mana kemudian lebih dikenal dengan istilah ”Metaethics”, yaitu penyelidikan tentang arti yang terkandung dalam istilah atau ungkapan yang terdapat dalam bidang etika. Pandangan Moore ini mengarah pada pencarian arti/makna bahasa dalam filsafat sebagai salah satu persoalan yang paling mendasar dalam MAB. Dewasa ini analisis konsep dinamakan sebagai ”Metalanguage” yaitu penjelasan terhadap konsep-konsep atau bahasa yang dipergunakan dalam filsafat.
Selanjutnya Moore menjelaskan, ”tugas filsafat bukanlah penjelasan ataupun penafsiran tentang pengalaman kita, melainkan memberikan penjelasan terhadap suatu konsep yang siap untuk diketahuo, malalui analisis berdasarkan akal sehat”. Dengan bertitik tolak pada ”akal sehat” ini Moore berusaha menyadarkan kita dari tipu daya istilah atau ungkapan yang muluk-muluk dan begitu mempesona, sebagaimana yang diperbuat oleh kaum Hegelian. Misalnya saja Moore menolak pandangan kaum Hegelian yang menyatakan bahwa ”kita tidak dapat mengetahui ”dunia lahiriah itu ada”, sebelum kita memiliki suatu pandangan filsafati yang memutuskan bahwa hal itu memang ada”. Bagi Moore ungkapan yang demikian itu tidak saja membingungkan, tetapi juga tidak dapat diterima oleh akal sehat kita. Dalam karyanya yang lain, Proof of The External World, Moore menyanggah putusan filsafat kaum Hegelian itu dengan nada setengah mengejek melalui pentaswiran sebagai berikut:
Sebagai contoh saya dapat membuktikan bahwa kedua tangan manusia itu benar-benar ada dalam fakta. Caranya yaitu dengan menggenggam kedua tangan saya itu, dan sembari menggerakkan tangan kanan saya mengatakan ”ini tangan yang satu”, kemudian sembari menggerakkan tangan sebelah kiri saya mengatakan ”ini tangan yang kedua”. Melalui tindakan ini saya telah membuktikan kepribadian benda-benda lahiriah berdasarkan fakta.
Melalui contoh yang sederhana itu, Moore bermaksud menunjukkan, untuk membuktikan kepribadian dunia lahiriah, tidak perlu didukung suatu putusan filsafat, cukup didasarkan akal sehat saja.
Penyebab utama timbulnya kekacauan ataupun perselisihan faham dalam kancah filsafat itu menurut Moore, ”karena para filsuf berusaha menjawab pertanyaan tanpa mengetahui secara tepat apakah pertanyaan itu memang baik untuk dijawab”. Di sini kita melihat bahwa tudingan yang diarahkan pada persoalan filsafat yang banyak mengandung ”misteri” atau teka-teki yang membingungkan banyak orang, sesungguhnya menurut kacamata Moore, lantaran persoalan yang demikian itu tidak lazim bagi akal sehat. Ketidaklaziman itu salah satu diantaranya yaitu terlihat pada ungkapan filsafat yang bersimpang jalan dengan pemakaian b ahasa biasa yang sehari-hari. Bagi Moore, ”keadaan yang demikian itu merupakan suatu pertanda bahwa akal sehat kita telah dilanggar secara terang-terangan”. Untuk menjelaskan penggunaan bahasa biasa yang berbeda dengan penggunaan bahasa filsafat itu Moore menunjukkan contoh melalui dua pernyataan berikut:
Semua harimau pasti mengaum, dan semua harimau termasuk yang jinak itu ’ada’.
Pernyataan pertama (semua harimau pasti mengaum) lebih mudah difahami pengertiannya ketimbang pernyataan kedua (semua harimau itu ”ada”). Kebanyakan pernyataan filsafat itu serupa dengan pernyataan kedua ini. Padahal menurut Moore, ”ada’ itu bukanlah predikat yang sejenis dengan ”mengaum”. Inilah salah satu titik kelemahan atas kekacauan penggunaan bahasa dalam filsafat yang berhasil disingkap oleh Moore.
Corak pemikiran Moore seperti yang telah dipaparkan di atas itu, kelak akan disebarluaskan dan dikembangkan secara rinci oleh para tokoh analitika bahasa.

11. Demokreitos
Demokreitos, dalam bahasa Yunani Δημοκρiτος, atau kadangkala juga dieja sebagai Democritus, (Abdera ~ 460 s.M. – 370 s.M.), adalah seorang filsuf Yunani pra-Sokrates.
Ia mengembangkan sebuah teori mengenai atom sebagai dasar daripada materi. Karyanya merupakan pelopor ilmu fisika materi, yang menutup kemungkinan akan adanya intervensi Tuhan atau Dewa-Dewa.
Demokreitos juga yang pertama berpendapat bahwa Bima Sakti merupakan cahaya gugusan bintang-bintang yang tempatnya sangat jauh.
12. Euklides
Euklides (hidup sekitar abad ke-4 SM) ialah matematikawan dari Alexandria. Dalam bukunya yang berjudul Elemen, ia - sebagai bapak geometri - mengemukakan teori bilangan dan geometri. Menurutnya satu hal yang paling penting untuk dicatat, bahwa dalam pembuktian teorema-teorema geometri tak diperlukan adanya contoh dari dunia nyata tetapi cukup dengan deduksi logis menggunakan aksioma-aksioma yang telah dirumuskan.

1 komentar:

  1. Gambling 101: How to Spot a Gambler (and How to Avoid It)
    But 출장샵 if 이천 출장안마 gambling is gambling 서귀포 출장샵 against the objective of a gambler, there 대전광역 출장샵 are a few ways to deal with it. For instance, a gambler will not know the probability 세종특별자치 출장안마 of

    BalasHapus