Kamis, 19 Maret 2009

FILSAFAT UMUM

Beberapa pengertian
1. Pythagoras mengemukakan bahwa manusia dapat dibagi ke dalam tiga tipe: mereka yang mencintai kesenangan, mereka yang mencintai kegiatan, dan mereka yang mencintai kebijaksanaan. Tujuan kebijaksanaan dalam pandangannya menyangkut kemajuan menuju keselamatan dalam hal keagamaan.
2. Socrates menganggap pengetahuan tentang diri sendiri, melalui pencapaian kejelasan konseptual, sebagai fungsi filsafat.
3. Bagi Plato, obyek filsafat ialah penemuan kenyataan atau kebenaran mutlak (keduanya sama dalam pandangannya), lewat dialektika.
4. Aristoteles mengetengahkan bahwa filsafat berurusan dengan penelitian sebab-sebab dan prinsip-prinsip segala sesuatu. Dalam arti ini, filsafat kelihatannya identik dengan totalitas pengetahuan manusia. Tatapi di dalam disiplin filsafat pada umumnya terdapat disiplin lain, filsafat pertama, yang ia namakan juga ”teologi”. Ini menyangkut prinsip-prinsip dan sebab-sebab terakhir, yang meliputi ide Allah, prinsip segala prinsip dan sebab segala sebab.
5. Dalam pemikiran Yunani kuno pernah filsafat dibuat praktis. Filsuf dari Kirene, Hegesias misalnya, berkeyakinan bahwa filsafat berfungsi mengajarkan cara menghindari penderitaan. Banyak kaum Epikurean menganut pandangan yang sama. Kaum Stoa menganggap perolehan apathia (ketentraman batin) sebagai tujuan filsafat.
6. Neoplatinisme percaya bahwa tujuan filsafat ialah bersekutu dengan yang ilahi.
7. Selama Abad Pertengahan, filsafat dianggap menganggu kehidupan iman; kacuali kalau diabdikan kepada teologi. Iman mesti mendahului akal. Dengan demikian teologi membawa kita kepada titik di mana akal tidak lagi berfungsi.
8. Bagi Decrates, filsafat merupakan pembentangan atau penyingkapan kebenaran terakhir. Titik tolaknya ditemukan dengan mendesak keraguan sampai ke batasnya. Dan tersingkaplah batas itu, yakni kepastian tentang eksistensi sendiri.
9. Locke berpendapat bahwa filsafat menuntut suatu analisis ide-ide yang memenuhi pikiran kita. Dalam analisis ini ide-ide dikupas agar tersingkap unsur-unsurnya.
10. Saint Simon yakin, filsafat menjadi alat pengharmonisan dunia.
11. Hegel berpendapat bahwa filsafat bertugas mendeduksi kategori-kategori. Maksudnya, ide-ide pokok untuk penafsiran hakikat semua hal. Dalam filsafat, malalui sejarahnya, menghadirkan kebenaran mutlak dalam dentuk mutlak.
12. Nietzsche yakin misi pribadinya ialah berfilsafat dengan palu. Menurutnya, menghilangkan pengertian-pengertian yang sudah usang dalam dirinya merupakan kebaikan yang positif.
Husserl memahami filsafat sebagai analisis fenomenologis yang dimaksudkan untuk menemukan esensi-esensi di dalam pengalaman.
14. Bergson mengutarakan bahwa filsafat pada pokoknya merupakan disiplin intuitif, sebab akal memfalsifikasikan kenyataan. Kendati demikian, kalau dinamisme intuisi diberikan peranan sentral, kentaralah hakikat statis akal akan berguna dalam memperkirakan apa yang akan dicapai secara intuitif.
15. Pada hemat Cassirer, filsafat bertugas menelusuri perkembangan bentuk simbolis dalam semua bidang pemikiran sebagai ungkapan kemanusiaan.
16. Schlick menemukan dua tugas untuk filsafat. Pertama, eksplorasi logika ilmu pengetahuan ; kedua, pemurnian bahas filosofis.
17. C.D. Broad membedakan antara filsafat spekulatif dan filsafat kritis. Menurutnya, ia sen diri bertugas menguraikan banyak alternatif bagi problem-problem pokok. Jadi, memberi sumbangan kepada bidang filsafat kritis.
18. Pada hemat Heidegger, filsafat bertujuan menemukan kembali makna Being, suatu warisan yang menurutnya dianut oleh filsafat Yunani kuno dulu.
19. Wittgenstein pada awalnya memandang filsafat sebagai analisis yang tidak terlalu penting. Mirip dengan pernyataan John Wisdom bahwa ”filsafat adalah penyakit yang disembuhkan”. Tetapi kemudian ia melihat bahwa filsafat mempunyai peranan dalam menganalisis kelompok-kelompok konsep.
20. Ryle malihat fungsi filsafat sebagai analisis category mistakes (kekeliruan kategori). Menurutnya, banyak filsuf jatuh ke dalam category mistakes ini.



Bidang Filsafat
Bidang filsafat tergantung baik pada proses perkembangan sejarah maupun pada prinsip pembagian yang diangkat oleh para filsuf. Faktor-faktor ini juga mempengaruhi persetujuan (kesepakatan) mengenai garis-garis antara filsafat dan disiplin-disiplin lain.
1. Aristoteles memasukkan ke dalam bidang filsafat: logika, etika, estetika, psikologi, filsafat politik, fisika, dan metafisika. Pembagiannya terhadap bidang-bidang ilmu, yang baginya sebagian besar merupakan pembagian filsafat, mempunyai tiga bagian: ilmu-ilmu teoritis, ilmu-ilmu praktis, dan ilmu-ilmu produktif.
2. Bagi Christian Wolff, dibang-bidang filsafat adalah logika, filsafat pertama, ontologi, teologi, kosmologi, psikologi rasional, etika, dan teori pengetahuan. Disiplin-disiplin ini dibaginya menjadi tiga bagian: teoritis, praktis, dan kriteriologis.
3. Bidang-bidang filsafat sekarang umum diketahui meliputi kebanyakan disiplin yang disebutkan diatas tadi, meski ada kecualian. Fisika dan psikologi telah mendapat privilesenya sendiri. Filsafat sering dianggap sebagai ilmu politik. Teologi telah digantikan oleh filsafat agama.

Pemikiran dari Beberapa Tokoh

1. Socrates (469 – 399 SM)
Filsuf piawai dari Athena ini hidup pada masa filsafat hanya dipakai sebagai silat lidah oleh kaum Sofis. Kaum Sofis inilah yang membawa perubahan terhadap corak pemikiran filsafati yang semula terarah pada kosmos (alam semesta), menjadi corak berpikir filsafati yang terarah pada teori pengetahuan dan etika.
Kekacauan filsafat mulai timbul pada saat kaum Sofis memberikan kriteria yang berbada tentang dasar-dasar teori pengetahuan dan etika. Mereka tidak memiliki kesepakatan tentang dasar-dasar umum yang berlaku bagi kedua teori tersebut. Mereka hanya mencapai kata sepakat mengenai satu hal: kebenaran yang sesungguhnya tidak mungkin dapat tercapai, segala sesuatu hanya bersifat nisbi, oleh karena itu harus diragukan kebenarannya (skeptisisme).
Dalam situasi yang kacau itulah Socrates tampil ke arah filsafat untuk menghadapi pengaruh kaum Sofis. Metode yang dipakai Socrates menghadapi kelihaian silat lidah kaum Sofis itu dikenal dengan metode Dialektik-Kritis. Proses dialektik di sini mengandung arti ”dialog antara dua pendirian yang bertentangan ataupun merupakan perkembangan pemikiran dengan memakai pertemuan (interplay) antar ide”. Sedangkan sikap kritis itu berarti Socrates tidak mau menerima begitu saja sesuatu pengertian sebelum dilakukan pengujian untuk membuktikan benar atau salahnya. Oleh karena itu dalam melaksanakan metode Dialektik-Kritis ini, Socrates selalu meminta penjelasan tentang sesuatu pengetian dari orang yang dianggapnya ahlu dalam bidang tersebut. Misalnya saja, ia bertanya kepada seorang seniman tentang apa yang dimaksud dengan ”keindahan”, kepada seorang panglima ia bertanya tentang apa yang dimaksud ”keberanian”, kepada seorang pemimpin ia menanyakan masalah ”keadilan”, dan lain-lain.
Setelah diperoleh penjelasan tentang pengertian tersebut dari ahlinya, Socrates kemudian mengajukan serangkaian pertanyaan mengenai dasar-dasar pemikiran para ahli itu, apa alasan mereka sehingga berpandangan demikian. Jadi Socrates selalu menuntut kemampuan para ahli untuk mempertanggungjawabkan pengetahuan dengan alasan yang benar. Apabila diperoleh jawaban yang memang didukung alasan yang benar, maka ide yang telah teruji tadi akan diterimanya sebagai pengetahuan yang benar untuk sementara sebelum dilakukan pengujian lebih lanjut melalui cara perbandingan (komparasi). Akan tetapi apabila orang yang diajak berdialog itu tidak sanggup mengajukan alasan yang benar mengenai pengertian yang diungkapkannya, maka ide yang dilontarkannya akan disisihkan oleh Socrates, karena dianggapnya tidak mencerminkan realitas yang sesungguhnya.
Dengan memakai metode Dialektik-Kritis ini Socrates berhasil mengalahkan kaum Sofis dalam banyak perdebatan yang mereka lakukan. Di sini kita melihat, tujuan utama Socrates adalah menjernihkan pelbagai pengertian yang selama ini dikacaukan oleh kaum Sofis. Atau dengan kata lain, metode Dialektik-Kritis yang dipakai Socrates itu dimaksudkan untuk menyembuhkan (therapy) kekacauan yang terjadi dalam arena filsafat pada masa itu, yang ditimbulkan oleh kaum Sofis. Aspek penyembuhan yang terdapat dalam filsafat Socrates ini, kelak akan mewarnai pula corak pemikiran para tokoh analitika bahasa yang berupaya menjernihkan pemakaian bahasa dalam filsafat. Perbedaanya hanya terletak pada kaum yang mereka tentang. Apabila Socrates menetnag segala ”omong kosong” dari kaum Sofis, maka para tokoh analitika bahasa menentang segala macam ungkapan yang tidak bermakna dari kaum Idealis.
Persamaan lainnya yang terdapat antara Socrates dengan para tokoh analitika bahasa adalah, tidak mempunyai sudut pandang (objek formal) sendiri tentang masalah yang diperbincangkan. Sebab baik Socrates maupun para tokoh analitika bahasa hanya menanggapi pendapat orang lain tentang sesuatu hal, dan mempersoalkan arti yang diajukan, apa alasan mereka mengatakan demikian. Kedua hal tersebut –aspek penyembuhan terhadap kekacauan dalam filsafat dan tidak memiliki objek formal sendiri- menunjukkan pada kita bahwa Socrates termasuk salah seorang penyebar benih MAB yang paling handal pada zamannya.

2. Plato (427 – 347 SM)
Plato (bahasa Yunani Πλάτων) (lahir sekitar 427 SM - meninggal sekitar 347 SM) adalah filsuf Yunani yang sangat berpengaruh, murid Socrates dan guru dari Aristoteles. Karyanya yang paling terkenal ialah Republik (dalam bahasa Yunani Πολιτεία atau Politeia, "negeri") di mana ia menguraikan garis besar pandangannya pada keadaan "ideal". Dia juga menulis 'Hukum' dan banyak dialog di mana Socrates adalah peserta utama.
Sumbangsih Plato yang terpenting tentu saja adalah ilmunya mengenai ide. Dunia fana ini tiada lain hanyalah refleksi atau bayangan daripada dunia ideal. Di dunia ideal semuanya sangat sempurna. Hal ini tidak hanya merujuk kepada barang-barang kasar yang bisa dipegang saja, tetapi juga mengenai konsep-konsep pikiran, hasil buah intelektual. Misalkan saja konsep mengenai "kebajikan" dan "kebenaran".
Salah satu perumpamaan Plato yang termasyhur adalah perumpaan tentang orang di gua.
Ada yang berpendapat bahwa Plato adalah filsuf terbesar dalam sejarah manusia. Semua karya falsafi yang ditulis setelah Plato, hanya merupakan "catatan kaki" karya-karyanya saja.
Ciri Plato ialah sikap kejiwaan yang terbuka, yang sejalan dengan sikap kejiwaan Socrates beritikad menggugah orang lain agar berpikir, dan tidak memaksakan orang lain agar menerima begitu saja sesuatu ajaran yang telah dibakukan. Plato senantiasa mengajarkan agar orang berpangkal pada sesuatu yang terdapat di atas kenyataan duniawi, namun sekaligus berpegang erat pada kenyataan duniawi. Keadaan ini harus senantiasa ditinjau dari segi idea-idea. Ajarannya tidak berkecenderungan untuk memandang dunia sebagai sesuatu yang buruk: dunia merupakan sesuatu yang harus diatur oleh manusia. Kitab-kitabnya yang berjudul Negara dan Hukum memperlihatkan bahwa Plato tidak mengajarkan manusia melarikan diri dari kenyataan duniawi. Isi pemikiran Plato ialah pemikiran mengenai idea.
Dengan demikian idea-idea merupakan gambaran-gambaran pikiran yang memimpin pemikiran kita. Idea-idea ini bukan merupakan gambaran-gambaran pikiran yang kita ciptakan, melinkan tampil dalam pikiran kita secara murni dengan sifat-sifatnya yang abadi serta tak berubah-ubah. Jika orang yang satu berbeda dengan orang yang lain, maka yang demikian ini disebabkan setiap orang dengan caranya masing-masing ambil bagian dalam idea manusia. Idea ini bersifat abadi dan tak berubah-ubah, namun tak pernah diwujudkan secara penuh oleh manusia yang manapun. Itu sebabnya terdapat perbedaan dalam bangun tubuh serta watak, dan itulah pula sebabnya manusia dapat berubah-ubah dan mati.
Idea tertinggi adalah idea kebaikan, yang menyebabkan segenap idea ynag lain dapat diketahui. Plato menegaskan bahwa manusia begitu terkaitnya pada dunia tangkapan inderawi, sehingga sukar sekali baginya untuk mendaki ke dalam dunia idea. Untuk dapat naik memasuki alam idea tersebut diperlukan pengerahan tenaga kejiwaan yang besar, yang mengharuskan menunggalkan segenap kebiasaan hidupnya, dan hanya sedikit orang yang dapat menghasilkan tenaga yang diperlukan itu. Lebih-lebih karena masyarakat sekelilingnya tidak memahami pemikir ini, serta memandangnya sebagai manusia khas yang asing bagi dunia.
Di dalam karya-karya yang ditulisnya kemudian Plato menyelidiki kesulitan-kesulitan yang dapat diajukan terhadap ajarannya mengenai idea. Dengan demikian ia mendahului Aristoteles yang di hari kemudian juga mengajukan keberatan-keberatannya. Maka ia berusaha mendalami lebih lanjut serta mengkongkretkan ajaran mengenai idea. Sementara manusia tetap merupakan masalah utama, matematika serta ilmu alam senantiasa memperoleh peran yang semakin besar. Di dalam Timaeus, yang berperan besar pada jaman pertengahan, Plato memaparkan kosmologinya. Gerak melingkar benda-benda angkasa menyingkapkan tatanan yang sempurna dalam makrokosmos, manusia, mikrokosmos, harus meniru tatanan di dalam dirinya sendiri. Bahwasannya usaha Plato untuk mencapai dunia adil-inderawi sama sekali tidak berarti melarikan diri dari dunia, yampak secara paling jelas dari kedua karyanya yang terbesar, yang berjudul Negara dan Hukum, yang menghendaki untuk memberikan bentuk yang sebaik-baiknya pada dunia manusiawi yang kongkret. Sementara itu Plato tetap menginsyafi, nahwa tak mungkin orang dapat mencapai kesempurnaan, sehingga yang pokok ialah bukannya suatu negara yang sempurna, melainkan suatu negara yang sebaik mungkin.
Seperti halnya bagi setiap orang Yunani yang hidup pada masa jayanya Yunani, juga bagi Plato etika dan filsafat negara berkaitan erat. Wajib susila manusia senantiasa bertalian dengan kewarganegaraannya, kedudukannya sebagai anggota negara kota polis. Kehidupan manusiawi yang berharkat hanya dapat dicapai dengan ikut serta secara aktif dalam kehidupan polis. Sebagai akibat adanya pertalian tersebut, maka pandangan mengenai negara senantiasa merupakan pandangan mengenai kesusilaan para warganya, sedangkan kesusilaan warga negara senantiasa berpulang pada pandangan mengenai jiwa manusia. Plato memandang jiwa manusia terpenjara dalam rfaganya. Tetapi berbeda dengan Aristoteles di kemudian hari, ia memandang jiwa manusia tidak sebagai suatu asas tunggal, melainkan swbagai jiwa yang rangkap tiga.
Bagian tertinggi jiwa ialah akal budi, yang tertuju untuk menatap idea serta memberikan pimpinan atas segenap kegiatan manusia, apabila jiwa ini teratur secara baik. Berlawanan dengan bagian ini terdapat bagian jiwa yang didiami oleh nafsu. Dalam dirinya bagian ini tidak teratur dan harus ditertibkan oleh akal budi. Tetapi akal budi tidak dapat secara langsung menertibkannya, melainkan hanya dengan perantaraan bagian tengah jiwa yang didiami oleh rasa-rasa yang lebih tinggi: rasa ingin dihormati, rasa birahi, rasa amarah yang dapat dibenarkan, dan sebagainya. Demikianlah akal budi berusaha mengendalikan rasa-rasa yang lebih rendah dengan menggunakan rasa-rasa yang leboh tinggi, yang dapat secara langsung menanganinya. Dalam hal ini Plato menarik konsekuensi-konsekuensi yang amat penting bagi pendidikan. Pendidikan bukan hanya merupakan urusan akal budi, melainkan urusan pimpinan yang lurus yang dilakukan oleh rasa-rasa yang lebih tinggi. Rasa-rasa ini harus diatur sedemikian rupa sehingga secara sertamerta diberi arah oleh akal budi, dan dengan demikian pada gilirannya memberikan pengarahan kepada rasa-rasa yang lebih rendah. Secara sendirian akal budi tidak berdaya. Ia harus didukung oleh rasa-rasa yang lebih tinggi yang mempunyai arah yang lurus.
Filsafat Plato merupakan suatu upaya raksasa untuk menjembatani pertentangan pendirian diantara tokoh-tokoh yang mendahuluinya. Plato mencoba untuk menghindari dilema yang dihadapi oleh Zeno dari Elea, dengan jalan memberikan bentuk kenyataan sendiri-sendiri kepada yang berubah dan yang tetap. Berdasar atas ajaran kaum Sofis dan Socrates ia mengajarkan agar memandang segala masalah dari segi kehidupan manusia. Ternyata ada juga peyelesaian-penyelesaian lain yang tidak seperti pandangan Plato. Dihari kemudian Aristoteles bertolak dari pertanyaan, hakekat kenyataan apakah yang sesungguhnya dipunyai oleh idea. Namun hal in i tidak menghilangkan kenyataan bahwa gagasan Plato mengenai ikut ambil bagiannya(=methexis) segenap hal yang terdapat di atas bumi dalam suatu kenyataan yang lebih tinggi akan tetap merupakan masalah pokok dalam filsafat, dan bahwa ethosnya masih tetap akan mempunyai pengaruh yang membangkitkan gairah.

3. Aristoteles (384 – 322 SM)

Aristoteles (Bahasa Yunani: ‘Aριστοτέλης Aristotélēs), adalah seorang filsuf Yunani, murid dari Plato dan guru dari Alexander yang Agung. Ia menulis berbagai subyek yang berbeda, termasuk fisika, metafisika, puisi, logika, retorika, politik, pemerintahan. etnis, biologi dan zoologi. Bersama dengan Socrates dan Plato, ia dianggap menjadi seorang di antara tiga orang filsuf yang paling berpengaruh di pemikiran Barat. Hasil ciptaan Aristoteles adalah logika formal, yang dirintis oleh retorika kaum sofis dan dialektika yang umum digunakan untuk menimbang-nimbang pada masa hidup Plato. Inti pokok logika Aristoteles adalah ajarannya mengenai penalaran dan pembuktian. Baginya penalaran pertama-tama berupa silogisme, yang di dalamnya berdasar dua buah tanggapan orang menyimpulkan tanggapan ketiga. Untuk dapat secara lurus melakukan penyimpulan ini, perlu diketahui mengenai hakekat tanggapan. Ada tanggapan yang mengukuhkan dan tanggapan yang mengingkari; ada tanggapan singular, partikular dan umum. Tanggapan-tanggapan ini dapat dihubungkan yang satu dengan yang lain dengan berbagai cara. Selanjutnya setiap tanggapan mengandaikan pengertian-pengertian yang menyusunnya. Setiap tanggapan terdiri dari dua buah pengertian (subjek dan predikat) yang dihubungkan atau dipisahkan dengan perantara suatu pengertian yang bersifat menghubungkan atau memisahkan (copula dengan atau tanpa pengingkaran). Hal ini sekali lagi memerlukan telaah mengenai pengertian-pengertian, yang oleh Aristoteles dicoba untuk menunjukkan jenis-jenisnya dalam berbagai karya, dan pembagian dalam jenis-jenis ini tidak selalu sama. Yang paling jauh pengolahannya terdapat dalam kitabnya Kategoria, yang didalamnya disamping substansia (= ousia) yang merupakan yang-hakiki, disebutkan sembilan buah kategoria lain yang menunjukkan yang- kebetulan, yaitu : kuantitas, kualitas, hubungan, tempat, waktu, kedudukan, keadaan, aktivitas, pasivitas. Pertama-tama substansia yang lain. Inilah yang menyebabkan sejumlah substansia (umpamanya, segenap manusia) termasuk dalam jenis yang sama (manusia). Pengertian : ”jenis” (= eidos) ini adalah suatu bentuk ajaran Aristoteles yang sama dengan idea menurut ajaran Plato. Selanjutnya sejumlah jenis dapat mempunyai kesamaan dalam segi-seginya yang hakiki, dan secara demikian terbentuklah suatu keluarga (=genos). Logika ajaran Aristoteles belum bersifat tertutup. Sifat ini baru diperolehnya pada ajaran Theophrastos dan tetap demikian sampai abad ke-19.
Dalam ajarn Aristoteles tidak selalu dapat dengan jelas dipilahkan antara fisika (=ajaran mengenai lingkungan jasadi) dengaan metafisika (=ajaran mengenai ada sebagai ada). Yang menjadi titik tolak metafisika Aristoteles ialah kecamannya terhdap ajaran idea Plato. Tetapi kecamaan ini sekaligus hendak mempertahaankan ide ungkapan yang-umum serta hendak mempertahankan pengutamaan yang-umum. Namun yang benar-benar berada secara kongkret bukanlah yang-umum, melainkan yang-satu demi satu atau yang-orang seorang : bukannya manusia yang berada, melainkan manusia ini yang berada. Maka timbul 2 macam pertanyaan : jika demikian halnya, apakah yang menyebabkan kita dapat berbicara mengenai manusia pada umumnya, dan apakah yang menyebabkan manusia ini merupakan manusia ini ? Dalam hal ini metafisika dan logika merupakaan satu kesatuan. Kita dapat berbicara mengenai manusia sebagai manusia, karena menurut hakekatnya (sebagai jenis) manusia-manusia itu sesuai. Perbedaan diantara manusia yang satu dengaan manusia yang lain terletak pada sifatnya yang kebetulan dan didasarkan atas materia.
Dengan demikian Aristoteles adalah orang pertama yang mengembangkan pengertian ”materia” yang bersifat kefilsafatan. Seperti halnya pendapat Plato, juga menurut Aristoteles ada dua macam pengetaahuan : pengetahuan inderawi dan pengetahuan akali. Hanya saja bagi Aristoteles keduanya sama-sama nyata. Pengetahuan inderawi merupakan hasil tangkapan keadaan yang kongkret benda tertentu; pengetahuan akali merupakan hasil tangkapan hakekat, jenis benda tertentu. Pengetahuan inderawi mengaraah kepada ilmu pengetahuan, namun ia sendiri bukan ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan hanya terdiri dari pengetahuan akali. Itulah sebabnya baik menurut Aristoteles maupun menurut Plato, tidak mungkin terdapat ilmu pengetahuan mengenai hal-hal yang kongkret, melainkan yang ada hanyalah ilmu pengetahuan mengenai hal-hal yang umum.
Cara umum Aristoteles membedakan empat macam penyebab (=aitia) : bentuk, materia, penyebab berupa tujuan (yaitu sesuatu yang dituju oleh gerak) dan penyebab karya (yaitu sesuatu yang menimbulkan gerak). Acapkali penyebab-penyebab ini bertepatan : bagi makhluk hidup, benttuknya, umpamanya, sekaligus merupakan tujuan yang hendak dicapainya. Mengenai peran penyebab karya, pendapat Aristoteles tidak begitu jelas, mungkin justru karena ia sangat menentang citra dunia sebagai mesin yang diajarkan oleh Democritus.
Yang amat penting ialah ajaran Aristoteles mengenai nyawa, terutama dalam hal ini dapat diikuti secara jelas perkembangan ajarannya yang bertolak dari pendirian Plato sampai pada pendiriannya senddiri. Berangkat dari dualisme ajaran Plato, melalui ajaran mekanisme yang dianutnya sementara, Aristoteles tiba pada kenyataan adanya kesatuan hakiki antara nyawa dengan tubuh. Nyawa adalah bentuk tubuh, dan karenanya bersama dengan tubuh merupakan suatu kesatuan tak terceraikan. Manakala nyawa sebagai asas hidup berssifat fana, maka Aristoteles berkeyakinan mengenai keabadian jiwa manusia. Mengenai hubungan antara nyawa dengan jiwa, Aristoteles tidak dapat memberikan penjelasan.



4. Ibnu Sina (980 – 1037)
Ibnu Sina dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan). Beliau juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan pengobatan. Bagi banyak orang, beliau adalah "Bapak Pengobatan Modern" dan masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran. Karyanya yang sangat terkenal adalah Qanun fi Thib yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.
Ibnu Sina bernama lengkap Abū ‘Alī al-Husayn bin ‘Abdullāh bin Sīnā (Persia ابوعلى سينا Abu Ali Sina atau dalam tulisan arab : أبو علي الحسين بن عبد الله بن سينا). Ibnu Sina lahir pada 980 di Afsyahnah daerah dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan (kemudian Persia), dan meninggal pada bulan Juni 1037 di Hamadan, Persia (Iran).
Dia adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak diantaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Dia dianggap oleh banyak orang sebagai "bapak kedokteran modern." George Sarton menyebut Ibnu Sina "ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua bidang, tempat, dan waktu." pekerjaannya yang paling terkenal adalah The Book of Healing dan The Canon of Medicine, dikenal juga sebagai sebagai Qanun (judul lengkap: Al-Qanun fi At Tibb).
Awal Kehidupan
Kehidupannyan dikenal lewat sumber - sumber berkuasa. Suatu autobiografi membahas tiga puluh tahun pertama kehidupannya, dan sisanya didokumentasikan oleh muridnya al-Juzajani, yang juga sekretarisnya dan temannya.
Ibnu Sina lahir pada tahun 370 (H) / 980 (M) di rumah ibunya Afshana, sebuah kota kecil sekarang wilayah Uzbekistan (bagian dari Persia). Ayahnya, seorang sarjana terhormat Ismaili, berasal dari Balkh Khorasan, dan pada saat kelahiran putranya dia adalah gubernur suatu daerah di salah satu pemukiman Nuh ibn Mansur, sekarang wilayah Afghanistan (dan juga Persia). Dia menginginkan putranya dididik dengan baik di Bukhara.
Meskipun secara tradisional dipengaruhi oleh cabang Islam Ismaili, pemikiran Ibnu Sina independen dengan memiliki kepintaran dan ingatan luar biasa, yang mengizinkannya menyusul para gurunya pada usia 14 tahun.
Ibnu Sina dididik dibawah tanggung jawab seorang guru, dan kepandaiannya segera membuatnya menjadi kekaguman diantara para tetangganya; dia menampilkan suatu pengecualian sikap intellectual dan seorang anak yang luar biasa kepandaiannya / Child prodigy yang telah menghafal Al-Quran pada usia 5 tahun dan juga seorang ahli puisi Persia. Dari seorang pedagan sayur dia mempelajari aritmatika, dan dia memulai untuk belajar yang lain dari seorang sarjana yang memperoleh suatu mata pencaharian dari merawat orang sakit dan mengajar anak muda.
Meskipun bermasalah besar pada masalah - masalah metafisika dan pada beberapa tulisan Aristoteles. Sehingga, untuk satu setengah tahun berikutnya, dia juga mempelajari filosofi, dimana dia menghadapi banyak rintangan. pada beberapa penyelidikan yang membingungkan, dia akan meninggalkan buku - bukunya, mengambil air wudhu, lalu pergi ke masjid, dan terus sholat sampai hidayah menyelesaikan kesulitan - kesulitannya. Pada larut malam dia akan melanjutkan kegiatan belajarnya, menstimulasi perasaannya dengan kadangkala segelas susu kambing, dan meskipun dalam mimpinya masalah akan mengikutinya dan memberikan solusinya. Empat puluh kali, dikatakan, dia membaca Metaphysics dari Aristoteles, sampai kata - katanya tertulis dalam ingatannya; tetapi artinya tak dikenal, sampai suatu hari mereka menemukan pencerahan, dari uraian singkat oleh Farabi, yang dibelinya di suatu bookstall seharga tiga dirham. Yang sangat mengagumkan adalah kesenangannya pada penemuan, yang dibuat dengan bantuan yang dia harapkan hanya misteri, yang mempercepat untuk berterima kasih kepada Allah SWT, dan memberikan sedekah atas orang miskin.
Dia mempelajari kedokteran pada usia 16, dan tidak hanya belajar teori kedokteran, tetapi melalui pelayanan pada orang sakit, melalui perhitungannya sendiri, menemukan metode - metode baru dari perawatan. Anak muda ini memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan pada usia 18 tahun dan menemukan bahwa "Kedokteran tidaklah ilmu yang sulit ataupun menjengkelkan, seperti matematika dan metafisika, sehingga saya cepat memperoleh kemajuan; saya menjadi dokter yang sangat baik dan mulai merawat para pasien, menggunakan obat - obat yang sesuai." Kemasyuran sang fisikawan muda menyebar dengan cepat, dan dia merawat banyak pasien tanpa meminta bayaran.
Pekerjaan pertamanya menjadi fisikawan untuk emir, yang diobatinya dari suatu penyakit yang berbahaya. Majikan Ibnu Sina memberinya hadiah atas hal tersebut dengan memberinya akses ke perpustakaan raja Samanids, pendukung pendidikan dan ilmu. Ketika perpustakaan dihancurkan oleh api tidak lama kemudian, musuh - musuh Ibnu Sina menuduh din oa yang membakarnya, dengan tujuan untuk menyembunyikan sumber pengetahuannya. Sementara itu, Ibnu Sina membantu ayahnya dalam pekerjaannya, tetapi tetap meluangkan waktu untuk menulis beberapa karya paling awalnya.
Ketika Ibnu Sina berusia 22 tahun, ayahnya meninggal.Samanid dynasty menuju keruntuhannya pada Desember 1004. Ibnu Sina menolak pemberian Mahmud of Ghazni, dan menuju kearah Barat ke Urgench di Uzbekistan modern, dimana vizier, dianggap sebagai teman seperguruan, memberinya gaji kecil bulanan. Tetapi gajinya kecil, sehingga Ibnu Sina mengembara dari satu tempat ke tempat lain melalui distrik Nishapur dan Merv ke perbatasan Khorasan, mencari suatu opening untuk bakat - bakatnya. Shams al-Ma'äli Qäbtis, sang dermawan pengatur Dailam, seorang penyair dan sarjana, yang mana Ibn Sina mengharapkan menemukan tempat berlindung, dimana sekitar tahun (1052) meninggal dibunuh oleh pasukannya yang memberontak. Ibnu Sina sendiri pada saat itu terkena penyakit yang sangat parah. Akhirnya, di Gorgan, dekat Laut Kaspi, Ibnu Sina bertamu dengan seorang teman, yang membeli sebuah ruman didekat rumahnya sendiri idmana Ibnu Sina belajar logika dan astronomi. Beberapa dari buku panduan Ibnu Sina ditulis untuk orang ini ; dan permulaan dari buku Canon of Medicine juga dikerjakan sewaktu dia tinggal di Hyrcania.
Kematian
Ibnu Sina wafat pada tahun 1037 M di Hamadan, Iran, karena penyakit maag yang kronis. Beliau wafat ketika sedang mengajar di sebuah sekolah.
Karya Ibnu Sina
Qanun fi Thib (Canon of Medicine)(Terjemahan bebas:Aturan Pengobatan)
Asy Syifa (terdiri dari 18 jilid berisi tentang berbagai macam ilmu pengetahuan)
An Najat

5. Ibnu Rusyd (1126 – 1198)
Ibnu Rusyd (1126 - Marrakesh, Maroko, 10 Desember 1198) dalam bahasa Arab ابن رشد dan dalam bahasa Latin Averroes, adalah seorang filsuf dari Spanyol (Andalusia).
Singkat
Abu Walid Muhammad Ibnu Rushd lahir di Kordoba (Spanyol) pada tahun 520 Hijriah (1128 Masehi). Ayah dan kakek Ibnu Rusyd adalah hakim-hakim terkenal pada masanya. Ibnu Rusyd kecil sendiri adalah seorang anak yang mempunyai banyak minat dan talenta. Dia mendalami banyak ilmu, seperti kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami filsafat dari Abu Ja'far Harun dan Ibnu Baja.
Ibnu Rusyd adalah seorang jenius yang berasal dari Andalusia dengan pengetahuan ensiklopedik. Masa hidupnya sebagian besar diberikan untuk mengabdi sebagai "Kadi" (hakim) dan fisikawan. Di dunia barat, Ibnu Rusyd dikenal sebagai Averroes dan komentator terbesar atas filsafat Aristoteles yang mempengaruhi filsafat Kristen di abad pertengahan, termasuk pemikir semacam St. Thomas Aquinas. Banyak orang mendatangi Ibnu Rusyd untuk mengkonsultasikan masalah kedokteran dan masalah hukum.

Pemikiran Ibnu Rusyd
Karya-karya Ibnu Rusyd meliputi bidang filsafat, kedokteran dan fikih dalam bentuk karangan, ulasan, essai dan resume. Hampir semua karya-karya Ibnu Rusyd diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Ibrani (Yahudi) sehingga kemungkinan besar karya-karya aslinya sudah tidak ada.
Filsafat Ibnu Rusyd ada dua, yaitu filsafat Ibnu Rusyd seperti yang dipahami oleh orang Eropa pada abad pertengahan; dan filsafat Ibnu Rusyd tentang akidah dan sikap keberagamaannya.

6. Blaise Pascal
Blaise Pascal (1623-1662) berasal dari Perancis. Minat utamanya ialah filsafat dan agama, sedangkan hobinya yang lain adalah matematika dan geometri proyektif. Bersama dengan Pierre de Fermat menemukan teori tentang probabilitas. Pada awalnya minat riset dari Pascal lebih banyak pada bidang ilmu pengetahuan dan ilmu terapan, di mana dia telah berhasil menciptakan mesin penghitung yang dikenal pertama kali. Mesin itu hanya dapat menghitung.
7. Rene Descartes (1596 – 1650)

René Descartes (La Haye, Perancis, 31 Maret 1596Stockholm, Swedia, 11 Februari 1650), juga dikenal sebagai Cartesius, merupakan seorang filsuf dan matematikawan Perancis. Karyanya yang terpenting ialah Discours de la méthode (1637) dan Meditationes de prima Philosophia (1641).
Descartes, kadang dipanggil "Penemu Filsafat Modern" dan "Bapak Matematika Modern", adalah salah satu pemikir paling penting dan berpengaruh dalam sejarah barat modern. Dia menginspirasi generasi filsuf kontemporer dan setelahnya, membawa mereka untuk membentuk apa yang sekarang kita kenal sebagai rasionalisme kontinental, sebuah posisi filosofikal pada Eropa abad ke-17 dan 18.
Pemikirannya membuat sebuah revolusi falsafi di Eropa karena pendapatnya yang revolusioner bahwa semuanya tidak ada yang pasti, kecuali kenyataan bahwa seseorang bisa berpikir.
Dalam bahasa Latin kalimat ini adalah: cogito ergo sum sedangkan dalam bahasa Perancis adalah: Je pense donc je suis. Keduanya artinya adalah:
"Aku berpikir maka aku ada". (Ing: I think, therefore I am)
Meski paling dikenal karena karya-karya filosofinya, dia juga telah terkenal sebagai pencipta sistem koordinat Kartesius, yang mempengaruhi perkembangan kalkulus modern. Filsuf Perancis ini dijuluki sebagai ”Bapak filsafat modern”, karena ia menempatkan akal pikir (rasio) pada kedudukan yang tertinggi, satu hal yang memang didambakan oleh manusia dijaman modern. Fisafat Descartes (terutama konsep tentang manusia) bersifat dualisme. Ia menganggap jiwa (res-cogitans) dan badan (res-extensa) sebagi dua hal yang terpisah. Konsep Descartes tentang manusia ini kelak akan dikritik habis-habisan oleh salah seorang tokoh aliran Filsafat Bahasa Biasa, Gilbert-Ryle. Jadi tanpa disadari, barangkali juga tidak dikehendakinya, Descartes telah memberikan rangsangan pada Ryle untuk mengkritik konsep ten tang manusia itu menurut kacamata analisis bahasa.
Sumbangsih Descartes yang paling besar bagi dunia filsafat pada umumnya terletak pada metode skeptis (keragu-raguan metodis) sebagai upaya untuk memperoleh kebenaran. Menurut Descrates, untuk memperoleh pengetahuan yang terang dan jelas maka terlebih dahulu kita harus meragukan segala sesuatu. Bagi Descartes, ”pengertian yang benar haruslah dapat menjamin dirinya sendiri”. Untuk mendapatkan suatu pengetahuan yang tidak diragukan lagi kebenarannya, Descartes menggariskan empat langkah/ aturan sebagai berikut:
Kita harus menghindari sikap tergesa-gesa dan prasangka dalam mengambil suatu keputusan, dan hanya menerima yang dihadirkan pada akal secara jelas dan tegas sehingga mustahil disangsikan.
Setiap persoalan yang diteliti, dibagikan dalam sebanyak mungkin bagi sejauh yang diperlukan bagi pemecahan yang memadai.
Mengatur pikir sedemikian rupa dengan bertitik tolak dari objek yang sederhana sampai pada objek yang lebih kompleks. Atau dari pengertian yang sederhana dan mutlak sampai pada pengertian yang komplek dan nisbi.
Setiap permasalahan ditinjau secara universal atau menyeluruh, sehingga tidak ada yang dilalaikan.
Langkah-langkah yang diajukan Descartes dalam upaya untuk memperoleh kebenaran ini pada prinsipnya bersifat analitik, terutama langkah kedua dan ketiga. Prinsip yang demikian itu dapat kita jumpai pula dalam pemikiran para tokoh analitika bahasa, khususnya dalam konsep Atomisme Logik Russel dan Wittgenstein. Kedua tokoh ini meyakini bahwa realitas itu dapat dipecah menjadi beberapa fakta atomik. Setiap fakta atomik dapat diungkapkan ke dalam proposisi elementer, dan sesuai dengan objek utamanya yaitu bahasa, maka para tokoh analitika bahasa itu tidaklah mengarahkan teknik analisis itu pada fakta atomik sebagai objek pembahasan, melainkan pada proposisi elementer. Akan tetapi perbedaan yang paling jelas antara penerapan teknik analisis Descartes dengan para tokoh analitika bahasa yaitu, ”Descartes menggunakan jalan akal yang natural, tanpa teknis logis”. Sedangkan pada tokoh analitika bahasa (terutama Atomisme Logik) menerapkan prinsis analitik itu berdasarkan teknik logis.
Sikap skeptis metodis yang dicanangkan Descartes itu juga turut mewarnai corak pemikiran para tokoh analitika bahasa yang meragukan ungkapan-ungkapan dalam filsafat. Walau sikap skeptis itu oleh para tokoh analitika bahasa diarahkan pada bahasa, bukan pada realitas sebagaimana halnya dengan Descartes, namun tetap merupakan masukan yang sangat berharga, bahkan dalam bidang filsafat pada umumnya. Dengan cara meragukan setiap ungkapan filsafat, terutama dalam bidang metafisika dan teologi, para tokoh analitika bahasa berupaya menentukan kriteria yang tegas antara ungkapan yang bermakna dan ungkapan yang tidak bermakna. Dalam hal ini mereka berhutang budi pada Descartes.

8. David Hume (1711 – 1776)
David Hume (26 April, 171125 Agustus, 1776) adalah filusuf Skotlandia, ekonom, dan sejarawan. Dia dimasukan sebagai salah satu figur paling penting dalam filosofi barat dan Pencerahan Skotlandia. Walaupun kebanyakan ketertarikan karya Hume berpusat pada tulisan filosofi, sebagai sejarawanlah dia mendapat pengakuan dan penghormatan. Karyanya The History of England merupakan karya dasar dari sejarah Inggris untuk 60 atau 70 tahun sampai Karya Macaulay.
Hume merupakan filusuf besar pertama dari era modern yang membuat filosofi naturalistis. Filosofi ini sebagian mengandung penolakan prevalensi dalam konsepsi dari pikiran manusia merupakan miniatur dari kesadaran suci; sebuah pernyataan Edward Craig yang dimasukan dalam doktrin 'Image of God'. Doktrin ini diasosiasikan dengan kepercayaan dalam kekuatan akal manusia dan penglihatan dalam realitas, dimana kekuatan yang berisi seritikasi Tuhan. Skeptisme Hume datang dari penolakannya atas ideal didalam'.
Hume sangat dipengaruhi oleh empirisis John Locke dan George Berkeley, dan juiga bermacam penulis berbahasa Perancis seperti Pierre Bayle, dan bermacam figur dalam landasan intelektual berbahasa inggris seperti Isaac Newton, Samuel Clarke, Francis Hutcheson, Adam Smith, dan Joseph Butler.
Tokoh emperisisme yang berasal dari Inggris ini menganggap penglaman sebagai sarana yang paling memadai untuk mencapai kebenaran. Bagi Hume, sumber segala pengertian filosofis itu adalah pengalaman inderawi yang meliputi isi pengertian, hubungan antara pengertian, serta kepastian pengertian. Pandangan yang demikian ini jelas bertentangan dengan pandangan Descartes yang lebih mempercayai akal sebagai sarana untuk mencapai kebenaran. Memang di sanalah letak pertentangan antara kaum rasionalisme dengan kaum empirisisme. Meski Hume mengakui bahwa sikap skeptis secara metodis dari Descartes berguna untuk memerangi metafisika, namun ia tidak mempercayai sikap skeptis itu dapat membahayakan common sense (akal sehat), sikap Hume yang secara tegas menolak metafisika itu kelak akan mewarnai pula corak pemikiran kaum Positivisme Logis.
Sumbangan Hume lainnya bagi pertumbuhan MAB adalah pandangannya mengenai ide sederhana dan ide kompleks. Bagi Hume ”ide yang sederhana itu adalah copy dari perasaan yang sederhana, dan ide yang kompleks dibentuk dari gabungan ide sederhana atau kesan yang komplek”. Pandangan Hume ini kelak akan diambil alih oleh Russel untuk menjelaskan ajarannya mengenai Atomisasi Logik, terutama pembahasan Russel tentang Particularia –mengandung pengertian serupa dengan ide sederhana dari Hume dan Universal– serupa dengan ide kompleks.
Selanjutnya, dalam upaya untuk menyingkirkan istilah-istilah kosong, Hume menunjukkan suatu cara pembersihan reduktif, artinya meneliti ide-ide komplek yang lazim digunakan, sejauh mana ide itu dapat dipertanggungjawabkan. Apakah ide-ide komplek itu dapat dikembalikan pada ide sederhana yang membentuknya. Jikalau suatu istilah tidak terbukti menyajikan ide yang dapat dianalisis menjadi komponen yang simple (ide sederhana), maka istilah itu tidak mempunyai arti.
Cara pembersihan reduktif yang diajukan Hume, akan dikembangkan oleh kaum Positivisme Logik dalam teknik analisis bahasa menjadi suatu prinsip pentasdikan (verifikasi). Perbedaannya, Hume tidaklah menerapkan cara pembersihan reduktif ini dalam lingkup bahasa, melainkan dalam lingkup kesan-kesan yang melulu didasarkan atas pengalaman. Sedangkan kaum Positivisme Logik, menerapkan prinsip pentasdikan ini dalam lingkup bahasa, yaitu meguji setiap pernyataan (statements), selain didasarkan atas pengamatan empirik juga didasarkan atas proposisi formal.

9. Immanuel Kant (1724 – 1804)

Immanuel Kant (Königsberg, 22 April 1724 - Königsberg, 12 Februari 1804) adalah seorang filsuf Jerman. Karya Kant yang terpenting adalah Kritik der Reinen Vernunft, 1781. Dalam bukunya ini ia “membatasi pengetahuan manusia”. Atau dengan kata lain “apa yang bisa diketahui manusia.” Ia menyatakan ini dengan memberikan tiga pertanyaan:
Apakah yang bisa kuketahui?
Apakah yang harus kulakukan?
Apakah yang bisa kuharapkan?
Pertanyaan ini dijawab sebagai berikut:
Apa-apa yang bisa diketahui manusia hanyalah yang dipersepsi dengan panca indria. Lain daripada itu merupakan “ilusi” saja, hanyalah ide.
Semua yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah peraturan umum. Hal ini disebut dengan istilah “imperatif kategoris”. Contoh: orang sebaiknya jangan mencuri, sebab apabila hal ini diangkat menjadi peraturan umum, maka apabila semua orang mencuri, masyarakat tidak akan jalan.
Yang bisa diharapkan manusia ditentukan oleh akal budinya. Inilah yang memutuskan pengharapan manusia.
Ketiga pertanyaan di atas ini bisa digabung dan ditambahkan menjadi pertanyaan keempat: “Apakah itu manusia?”
Filsuf Jerman kelahiran Konigsberg ini dikenal juga sebagai tokoh Kritisisme. Filsafat kritis yang ditampilkannya bertujuan untuk menjembatani pertentangan antara kaum Rasionalisme dengan kaum Empirisisme. Bagi Kant, baik Rasionalisme maupun Empirisisme belum berhasil membimbing kita untuk memperoleh pengetahuan yang pasti, berlaku umum, dan terbukti dengan jelas. Kedua aliran itu memiliki kelemahan yang justru merupakan kebaikan bagi seterusnya masing-masing.
Menurut Kant, pengetahuan yang dihasilkan oleh kaum Rasionalisme tercermin dalam putusan yang bersifat Analitik-Apriori, yaitu suatu bentuk putusan dimana predikat sudah termasuk dengan sendirinya ke dalam subjek. Putusan yang bersifat Analitik Apriori ini memang mengandung suatu kepastian dan berlaku umum, tetapi tidak memberikan sesuatu yang baru bagi kita. Sedangkan pengetahuan yang dihasilkan oleh kaum Empirisisme itu tercermin falam putusan yang bersifat Sintetik-Aposteriori, yaitu suatu bentuk putusan dimana predikat belum termasuk ke dalam subjek. Meski putusan yang bersifat Sintetik-Aposteriori ini memberikan pengetahuan yang baru bagi kita, namun sifatnya tidak tetap, sangat tergantung pada ruang dan waktu. Kebenaran di sini sangat bersifat Subjektif.
Dengan melihat kebaikan yang terdapat di antara dua putusan tersebut, serta kelemahannya sekaligus, Kant memadukan keduanya dalam suatu entuk putusan yang Sintetik-Apriori, yaitu suatu putusan yang bersifat umum-universal, dan pasti. Di dalam putusan Sintetik-Apriori ini, ”akal budi dan pengalaman inderawi dibutuhkan serentak”. Bagaimana cara kita untuk mendapatkan putusan Sintetik-Apriori? Dalam hal in i Kant menunjuk pada tiga bidang sebagai tahapan yang harus dilalui, yaitu:
Bidang Inderawi; di sini peranan subjek lebih menonjol, namun harus ada dua bentuk murni yaitu, ”ruang” dan ”waktu” yang dapat diterapkan dalam pengalaman. Hasil penerapan inderawi yang dikaitkan dengan bentuk ”ruang” dan ”waktu” ini merupakan fenomin konkret. Namun pengetahuan yang diperoleh dalam bidang inderawi ini selalu berubah-ubah tergantung pada subjek yang mengalami, dan situasi yang melingkupinya.
Bidang Akal; apa yang telah diperoleh melalui bidang inderawi tersebut –untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat objektif-universal –haruslah dituangkan ke dalam bidang akal. Di sini terkandung empat bentuk kategori –masing-masing terdiri ats tiga jenis – yang dapat menampung fenomin konkret yang didapatkan dari bidang inderawi itu tadi. Keempat bentuk kategori itu adalah:
1) Kategori Kuantitas, terdiri atas; singulir (kesatuan), partikular (sebagian), dan universal (umum).
2) Kategori Kualitas, terdiri atas; realitas (kenyataan), negasi (pengingkaran), limitas (batas-batas).
3) Kategori Relasi, terdiri atas; categoris (tidak bersyarat), hypothesis (sebab dan akibat), disjunctif (saling meniadakan).
4) Kategori Modalitas, terdiri atas; mungkin/tidak, ada/tiada, keperluan/kebetulan.
Bidang Rasio; pengetahuan yang telah diperoleh dalam bidang akal itu baru dapat dikatakan sebagai putusan Sintetik-Apriori, setelah dikaitkan dengan tiga macam ide yaitu, Allah (ide teologis), Jiwa (ide psikologis), dan Dunia (ide kosmologis). Namun ketiga macam ide itu sendiri tidak mungkin dapat dicapai oleh akal pikir manusia. Ketiga ide ini hanya merupakan petunjuk untuk menciptakan kesatuan pengetahuan.
Baik pengetahuan yang diperoleh dalam bidang inderawi, maupun yang diperoleh dalam bidang akal, keduanya mencerminkan langkah-langkah logis yang dengan sendirinya dapat diterima dalam pemikiran tokoh-tokoh MAB.Bukan disitu saja letak sumbangsih Kant bagi perkembangan MAB, namun keistimewaan lainnya adalah, kemampuannya untuk menjembatani dua corak pemikiran yang sangat berbeda antara Empirisisme dengan Rasionalisme menjadi kesatuan harmonis. Ini sungguh merupakan sumbangan yang sangat berharga bagi dunia filsafat secara umum. Sedangkan pengetahuan yang terletak dalam bidang rasio, mungkin tidak akan pernah digubris oleh kaum Atomisme Logik dan kaum Positivisme logik. Sebab Kant telah mengaitkan pengetahuan yang diperoleh secara logis itu dengan ”sesuatu” yang justru bersifat tidak logis yaitu, Allah, Jiwa, dan Dunia. Bagi kaum Atomisme Logik misalnya –terutama dalam pandangan Wittgenstein– ketiga ide itu dianggap sebagai ”sesuatu yang bersifat mistis” (mistically). Akan tetapi justru di sinilah letaknya keistimewaan Kant, sebab Kant sendiri mengakui bahwa akal manusia tidak akan pernah dapat mencapai ketiga macam ide tersebut. Ketiga macam ide itu hanya merupakan postulat yang mendasari suatu bentuk putusan Sintetik-Apriori. Satu hal yang tidak diragukan lagi, Kant telah menolak metafisika –dalam hal ini senada dengan kaum Positivisme Logik dan para tokoh analitika bahasa pada umumnya– bagi filsafat. Menurut Kant, ”metafisik ilmiah yang mengatasi pengalaman inderawi itu mustahil, sebab metafisik demikian hanya mengenai ”noumenon” (sesuatu yang tak teramati) bukan tentang ”fenomin” (sesuatu yang teramati).

10. George Edward Moore (1873 – 1958)

Filsuf Inggris yang satu ini harus kita pandang secara lebih istimewa daripada tokoh yang telah kita bicarakan sebelumnya. Sebab melalui pemikiran Moore inilah benih MAB yang disemaikan para filsuf sebelumnya mulai menampakkan tunasnya. Kendati Moore belum lagi mencanangkan analisis bahasa sebagai satu-satunya metode bagi filsafat, namun ia dapat dianggap sebagai pencetus gagasan bagi kehadiran MAB di adad keduapuluhan ini. Hal itu berkaitan erat dengan penentangan yang dilakukannya terhadap pengaruh filsafat kaum Hegelian di Inggris pada waktu itu. Dalam karyanya The Refutation of Idealisme, Moore menunjukkan bahwa titik kelemahan utama filsafat Idealisme –kaum Hegelian yang mendominasi corak pemikiran filsafat di Inggris sejak pertengahan abad kesembilanbelas hingga awal abad keduapuluhan– terlihat jelas pada pernyataan filsafat mereka yang tidak memiliki dasar logika sehingga tidak terfahami oleh akal sehat (common sense). Kritik yang dilancarkan Moore ini tidak saja berhasil mematahkan dominasi kaum Hegelian di Inggris, tetapi juga merupakan pertumbuhan awal gerakan baru dalam arena filsafat yang sangat berbeda dengan corak pemikiran filsafat sebelumnya. Gerakan baru ini kemudian lebih dikenal dengan nama Linguistic Analysis (Analisis Bahasa) atau Analytical Philosophy (MAB) ataupun Logical Analysis (Analisis Logika). Ketiga istilah yang berbeda itu pada hakikatnya mengandung pengertian yang sama yaitu, suatu pandangan yang berupaya menjelaskan (melalui analisis) penggunaan b ahasa dalam filsafat.
Dalam Principia Ethica, Moore menerapkan analisis bahasa ini terhadap konsep-konsep etika, yang mana kemudian lebih dikenal dengan istilah ”Metaethics”, yaitu penyelidikan tentang arti yang terkandung dalam istilah atau ungkapan yang terdapat dalam bidang etika. Pandangan Moore ini mengarah pada pencarian arti/makna bahasa dalam filsafat sebagai salah satu persoalan yang paling mendasar dalam MAB. Dewasa ini analisis konsep dinamakan sebagai ”Metalanguage” yaitu penjelasan terhadap konsep-konsep atau bahasa yang dipergunakan dalam filsafat.
Selanjutnya Moore menjelaskan, ”tugas filsafat bukanlah penjelasan ataupun penafsiran tentang pengalaman kita, melainkan memberikan penjelasan terhadap suatu konsep yang siap untuk diketahuo, malalui analisis berdasarkan akal sehat”. Dengan bertitik tolak pada ”akal sehat” ini Moore berusaha menyadarkan kita dari tipu daya istilah atau ungkapan yang muluk-muluk dan begitu mempesona, sebagaimana yang diperbuat oleh kaum Hegelian. Misalnya saja Moore menolak pandangan kaum Hegelian yang menyatakan bahwa ”kita tidak dapat mengetahui ”dunia lahiriah itu ada”, sebelum kita memiliki suatu pandangan filsafati yang memutuskan bahwa hal itu memang ada”. Bagi Moore ungkapan yang demikian itu tidak saja membingungkan, tetapi juga tidak dapat diterima oleh akal sehat kita. Dalam karyanya yang lain, Proof of The External World, Moore menyanggah putusan filsafat kaum Hegelian itu dengan nada setengah mengejek melalui pentaswiran sebagai berikut:
Sebagai contoh saya dapat membuktikan bahwa kedua tangan manusia itu benar-benar ada dalam fakta. Caranya yaitu dengan menggenggam kedua tangan saya itu, dan sembari menggerakkan tangan kanan saya mengatakan ”ini tangan yang satu”, kemudian sembari menggerakkan tangan sebelah kiri saya mengatakan ”ini tangan yang kedua”. Melalui tindakan ini saya telah membuktikan kepribadian benda-benda lahiriah berdasarkan fakta.
Melalui contoh yang sederhana itu, Moore bermaksud menunjukkan, untuk membuktikan kepribadian dunia lahiriah, tidak perlu didukung suatu putusan filsafat, cukup didasarkan akal sehat saja.
Penyebab utama timbulnya kekacauan ataupun perselisihan faham dalam kancah filsafat itu menurut Moore, ”karena para filsuf berusaha menjawab pertanyaan tanpa mengetahui secara tepat apakah pertanyaan itu memang baik untuk dijawab”. Di sini kita melihat bahwa tudingan yang diarahkan pada persoalan filsafat yang banyak mengandung ”misteri” atau teka-teki yang membingungkan banyak orang, sesungguhnya menurut kacamata Moore, lantaran persoalan yang demikian itu tidak lazim bagi akal sehat. Ketidaklaziman itu salah satu diantaranya yaitu terlihat pada ungkapan filsafat yang bersimpang jalan dengan pemakaian b ahasa biasa yang sehari-hari. Bagi Moore, ”keadaan yang demikian itu merupakan suatu pertanda bahwa akal sehat kita telah dilanggar secara terang-terangan”. Untuk menjelaskan penggunaan bahasa biasa yang berbeda dengan penggunaan bahasa filsafat itu Moore menunjukkan contoh melalui dua pernyataan berikut:
Semua harimau pasti mengaum, dan semua harimau termasuk yang jinak itu ’ada’.
Pernyataan pertama (semua harimau pasti mengaum) lebih mudah difahami pengertiannya ketimbang pernyataan kedua (semua harimau itu ”ada”). Kebanyakan pernyataan filsafat itu serupa dengan pernyataan kedua ini. Padahal menurut Moore, ”ada’ itu bukanlah predikat yang sejenis dengan ”mengaum”. Inilah salah satu titik kelemahan atas kekacauan penggunaan bahasa dalam filsafat yang berhasil disingkap oleh Moore.
Corak pemikiran Moore seperti yang telah dipaparkan di atas itu, kelak akan disebarluaskan dan dikembangkan secara rinci oleh para tokoh analitika bahasa.

11. Demokreitos
Demokreitos, dalam bahasa Yunani Δημοκρiτος, atau kadangkala juga dieja sebagai Democritus, (Abdera ~ 460 s.M. – 370 s.M.), adalah seorang filsuf Yunani pra-Sokrates.
Ia mengembangkan sebuah teori mengenai atom sebagai dasar daripada materi. Karyanya merupakan pelopor ilmu fisika materi, yang menutup kemungkinan akan adanya intervensi Tuhan atau Dewa-Dewa.
Demokreitos juga yang pertama berpendapat bahwa Bima Sakti merupakan cahaya gugusan bintang-bintang yang tempatnya sangat jauh.
12. Euklides
Euklides (hidup sekitar abad ke-4 SM) ialah matematikawan dari Alexandria. Dalam bukunya yang berjudul Elemen, ia - sebagai bapak geometri - mengemukakan teori bilangan dan geometri. Menurutnya satu hal yang paling penting untuk dicatat, bahwa dalam pembuktian teorema-teorema geometri tak diperlukan adanya contoh dari dunia nyata tetapi cukup dengan deduksi logis menggunakan aksioma-aksioma yang telah dirumuskan.

FILSAFAT MATEMATIKA

Matematika adalah himpunan dari nilai kebenaran, dalam bentuk suatu himpunan pernyataan yang dilengkapi dengan bukti, dan bahwa fungsi dari filsafat matematika adalah untuk menetukan kepastian dari kebenaran ini.
Filsafat matematika adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan matematika serta hubungan matematika dengan segala segi dari kehidupan manusia. Landasan itu mencakup berbagai konsep pamgkal, anggapan dasar, asa permulaan, struktur teoritis, dan ukuran kebenaran.
Sampai sekarang para filsuf dan ahli matematika masih mencoba merumuskan apa sesungguhnya matematika itu. Banyak definisi matematika telah dikemukakan, namun banyak pula sanggahannya. Kata Cassius Keyser:
“Ilmu tentang matematika – apakah yang harus dikatakan tentangnya? Sebuah pertanyaan yang banyak diperbincangkan oleh filsuf-filsuf dan matematikawan-matematikawan selama lebih daripada 2000 yahun dan khususnya dengan minat dan pemahaman yang diperdalami pada masa kita ini. Banyak sudah jawabannya, tetapi tiada yang menyatakan dirinya sebagai jawaban yang terakhir.”
Kesulitan memberikan sebuah batasan tentang matematika dikemukakan oleh Kenneth May demikian:
“Matematika muncul dalam kebudayaan kita dalam aneka ragam cara yang begitu banyak sehingga sukar untuk melukiskannya sebagai suatu keseluruhan.
Pembahasan di atas menyarankan bahwa rasanya tidak mungkin untuk memberikan sebuah batasan tentang matematika dalam rangka salah satu ciri-cirinya.”
Seperti halnya filsafat hukum yang tidak mengatur, atau filsafat sains yang menguji hipotesis secara ilmiah, filsafat matematika tidaklah teorema atau teori. Filsafat matematika bukanlah matematika. Filsafat matematika merupakan cermin dari matematika yang muncul dari masalah-masalahnya. (Korner, 1960 : 9).
Filsafat matematika muncul ketika kita meminta pertanggungjawaban umum dari matematika, suatu pandangan yang memberikan gambaran penting dan menerangkan secara tepat bagaimana seseorang dapat mengerjakan matematika. (Tymoczko, 1986 : 8).

MATEMATIKA SEBAGAI ILMU FORMAL
Pada dewasa ini sudah pasti matematika merupakan sebuah ilmu, tetapi ilmu formal untuk dilawankan dengan ilmu faktawi seperti misalnya fisika, kimia, dan biologi. Ilmu formal menurut definisi Sheldon Lachman adalah sebagai berikut :
“Cabang-cabang ilmu formal adalah bidang-bidang dari usaha intelektual yang bertanggung jawab untuk menyusun sistem-sistem lambang dan proses-proses perlambang, dan untuk mengembangkan aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang menyangkut hubungan-hubungan di antara dan langkah-langkah pengerjaan dari lambang-lambang dan proses-proses ini.”
Perbedaan pokok antara ilmu formal dengan ilmu faktawi (factual science) menurut Rudolf Carnap ialah ilmu formal hanya mengandung pernyataan-pernyataan analitis. Sebuah pernyataan analitis adalah pernyataan yang kebenarannya semata-mata mengikuti asas-asas logika dan karena itu akan selalu benar di mana pun juga. Misalnya pernyataan bahwa lingkaran adalah bulat. Jadi, pernyataan analitis hanya menyajikan arti yang memang telah terkandung dalam sesuatu pengertian. Oleh karena bentuk yang bulat sudah dengan sendirinya terkandung dalam pengertian lingkaran, maka pernyataan analitis akan senantiasa benar.
Pernyataan analitis dilawankan dengan pernyataan sintetis, yakni pernyataan yang sebutannya mengatakan sesuatu tentang pokok keterangan yang artinya tidak terkandung pada pokok itu. Misalnya sebuah pernyataan bahwa bumi berjalan mengelilingi matahari dalam bentuk elips. Kebenaran pernyataan sintetis harus dibuktikan dengan keadaan senyatanya dari hal yang disebutkan itu. Ilmu faktawi selain memuat pernyataan analitis juga berisi berbagai pernyataan sintetis.
Sebuah perbadaan lain antara ilmu formal dan ilmu faktawi dikemukakan oleh Mario Bunge. Ahli ini menyatakan bahwa ilmu formal bersangkutan dengan ide-ide, sedang ilmu faktawi menyangkut fakta-fakta yang diperkirakan terjadi dalam dunia ini dan untuk membuktikannya seseorang harus mendasarkan diri pada pengalaman. Sebagai kelanjutan dari perbadaan itu, pernyataan dalam ilmu formal dapat dibuktikan semata-mata dengan akal saja, sedangkan pernyataan ilmu faktawi tidak dapat.
Demikianlah matematika merupakan ilmu formal. Tetapi, menyatakan saja bahwa matematika adalah ilmu formal dan pernyataan analitisnya akan senantiasa besar serta dapat dibuktikan hanya dengan akal saja tidaklah memadai. Harus ada penegasan pokok soal apa yang dipelajari oleh ilmu ini dan bagaimana sifat dasarnya.

MATEMATIKA SEBAGAI ILMU TENTANG BILANGAN
Matematika menurut riwayat dan perwujudannya adalah suatu pengetahuan . hal ini juga ternyata dari asal-usul perkataan matematika itu sendiri. Istilah mathematics berasal dari kata latin mathematica yang semula mengambil pula dari kata Yunani mathematike (artinya : relating t learning- bertalian denagn pengetahuan). Kata Yunani itu mempunyai akar kata mathema yang berarti ilmu atau pengetahuan (science, knwledge). Perkataan mathematike berhubungan pula sangat erat dengan sebuah kata lainnya yang serumpun, yaitu manthanein yang artinya belajar (to learn). Jadi, berdasarkan asal-usulnya kata matematika itu sendiri semula berarti pengetahuan yang diperleh dari prses belajar.
Leh karena itu matematika merupakan suatu pengetahuan, maka persalannya ialah pengetahuan tentang apa, apa yang menjadi pokok soal atau sasaran yang dipelajarinya. Ternyata salah satu sasaran pertama yang ditelaahnya ialah knsepsi tentang bilangan. Jadi, hal-ikhwal tentang bilangan merupakan pkok soal yang dipelajari oleh matematika. Berhubung dengan itu dapatlah dibenarkan batasan dari Charles Eckels yang merumuskan matematika sebagai “the sciance of numbers and their relationships” (ilmu tentang bilangan-bilangan dan hubungan-hubungannya).
Dalam salah satu kepustakaan matematika yang lebih baru dinyatakan hal yang berikut :
“Matematika dasar terutama menyangkut unsur-unsur tertentu yang disebut bilangan-bilangan dan dengan langkah-langkah pengerjaan tertentu yang ditetapkan pada bilangan-bilangan itu.”
Persoalan yang kini perlu dijelaskan ialah apa yang dimaksud dengan bilangan. Beberapa filsuf telah berusaha menjawabnya. Misalnya filsuf Yunani Kuno Aristoteles (384-322 SM) merumuskan bahwa “number is a collection measured by a unit” (bilangan adalah suatu kumpulan yang diukur dengan sebuah satuan), sedang filsuf Abad Tengah Thomas Aquinas (1225-1274) menyatakan bahwa “number consists of unit” (bilangan terdiri dari satuan-satuan). Kedua filsuf ini berpendapat bahwa satu bukanlah sebuah bilangan, melainkan ukuran dari bilangan itu.
Dari segi matematika secara teknis bilangan itu dapat dirumuskan sebagai :
“Sifat sebuah himpunan dari satuan-satuan yang bebas dari sifat-sifat dasar satuan-satuan itu; sifat yang umum berlaku bagi semua himpunan dari satuan-satuan yang dapat dituangkan dalam hubungan satu berbanding satu.”
Pengertian bilangan tersebut di atas sesungguhnya adalah suatu abstraksi, yaitu pemujaradanterhadap apa yang tadinya berwujud. Bilangan merupakan konsepsi yang hanya ada dalam pikiran manusia. Timbulnya konsepsi itu ialah karena pikiran manusia ingin menghitung suatu kumpulan yang terdiri dari benda-banda tertentu. Misalnya seseorang mempunyai sekumpulan jeruk, pikirannya membuat tanggapan sehingga kemudian dapat menetapkan bahwa kumpulan itu terdiri dari 10 biji, terlepas dari ciri-ciri jeruk itu, apakah warnya kuning atau hijau, kulitnya halus atau kasar, dan rasanya manis atau asam. Bilamana tanggapan pikiran yang demikian itu juga terdapat pada kumpulan-kumoukan benda lainnya sehingga satuan-satuan dari masing-masing kumpulan dapat diperbandingkan satu lawan satu, maka sifat umum dari segenap kumpulan itu adalah bilangan menurut konsepsi pikiran manusia.
Sebagai contoh misalnya terdapat buku, pensil, penggaris, dan meja yang masing-masing berjumlah tiga. Bilangan tiga itu tidak dapat ditangkap oleh panca indra karena merupakan abstraksi yang hanya dapat dimengerti leh pikiran. Kalau kemudian pengertian abstrak itu dapat dibaca dengan mata, maka yang terlihat sesungguhnya hanyalah tanda lambangnya berupa angka, yaitu 3. Dalam hubungan ini dapatlah dikutipkan penjelasan Richard Courant dan Herbert Robbins yang menegaskan demikian :
“Diciptakan leh pikiran manusia untuk menghitung benda-benda dalam berbagai kumpulan, bilangan-bilangan tidak mempunyai pertalian dengan ciri-ciri tersendiri dari benda-benda yang dihitung itu. Bilangan enam adalah suatu abstraksi dari semua kumpulan nyata yang berisi enam benda; bilangan itu tidak bergantung pada sifat-sifat khusus apapun dari benda-benda ini atau pada lambang-lambang yang dipergunakan. Hanyalah pada suatu tahap perkembangan kecerdasan yang agak lanjut barulah watak abstrak dari ide tentang bilangan itu menjadi jelas.”
Konsepsi tentang bilangan itu kemudian juga mengalami perkembangan, terutama mengenai macam-macamnya. Pada zaman Yunani Kuno mahzab Pythagoreanisme hanya mengenal dan mengakui bilangan asli (yakni bilangan bulat yang dipakai untuk menghitung : 1, 2, 3 dan seterusnya) dan bilangan pecahan yang positif dari bilangan asli itu. Konsepsi bilangan dalam matematika modern sudah jauh lebih luas karena meliputi antara lain bilangan negatif misalnya -3, bilangan irrasional seperti , dan bilangan khayal .



ILMU TENTANG BILANGAN DAN RUANG
Bilangan bukanlah satu-satunya sasaran dari matematika, melainkan salah satu saja atau yang pkk dipelajari oleh matematika dasar. Sebuah perumusan lain, terutama definisi-definisi dalam berbagai kamus bahasa dan ensiklopedi pengetahuan umum menambahkan unsur berupa ruang sebagai sasaran matematika. Bilangan dan ruang itu biasanya dirangkaikan dalam perumusan matematika sebagai ilmu tentang bilangan dan ruang. Definisi-definisi yang demikian ini dihimpun sebagai berikut :
1. Matematika : ilmu tentang hubungan-hubungan dari bilangan-bilangan dan ruang.
(J. B. Coates, Leaders of Modern Thought, 1950,p93.)
2. Sesungguhnya, dalam makna yang sempit ini, matematika dapat disebut ilmu tentang ruang dan bilangan.
(Hollis R. Cooley, at al., Introduction t Mathematics, 1949,p10.)
3. Matematika adalah ilmu tentang ruang dan bilangan, dan merupakan dasar dari semua ilmu lainnya.
(Everyman’s Encyclpaedia, Volume 8, 1958,p376.)
4. Matematika : ilmu abstrak tentang ruang dan bilangan.
(H. W. Fowler & F. G. Fowler, eds., The Concise Oxford Dictionary of Current English, 1958,p736.)
5. Matematika : ilmu yang menguraikan ruang dan bilangan.
(A. S. Hornby, et al., The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, 1954,p778.)
6. Wiskunde, mathesis, ilmu yang memberikan uraian tentang sifat-sifat ruang dan bilangan sebagaimana dikemukakan ileh pikiran manusia.
(De Kleine W. P. Encyclopaedie, Tweede deel, 1949,p1410.)
7. Sesungguhnya, sebuah batasan umum tentang matematika ialah bahwa ini adalah ilmu tentang bilangan. Namun, hubungan-hubungan kuantitatif adalah hanya satu segi dari matematika. Ini mencakup pula titik-titik, garis-garis, dan bidang-bidang serta hubungan mereka satu sama lain dalam ruang, tahap matematika yang ditunjuk sebagai hubungan keruangan.
(Adele Leonhardy, Intrductory College Mathematics, 1962,p581.)
8. Batasan tua bahwa matematika adalah ilmu yang menguraikan bilangan-bilangan dan ruang.
(Kenneth O. May, Elements of Modern Mathematics, 1962,p581.)
9. Matematika : Ilmu abstrak tentang ruang dan bilangan.
(The Reader’s Digest Great Encyclopaedic Dictionary, Volume 2, 1964,p552.)
10. Matematika adalah suatu ilmu yang menguraikan bilangan dan proses-proses ruang – kenyataan dalam segi-segi kuantitatifnya.)
(Samuel Smith, et al., Best Methods of Study, 1955,p84.)
11. Matematika, sebagaimana kata itu dipakai dewasa ini, telah tumbuh melampaui batasnya yang kuno sebagai ilmu tentang ruang dan bilangan.
(The Word University Encyclopedia : An Illstrated Treasury of Knowledge (Unabridged), Volume 7, 1965,p3139.)
Tambahan :
Dalam beberapa batasan matematika, sebagai gantinya kata ruang dipakai besaran ruang, bangun geometris, dan bentuk. Kata-kata pengganti itu dapat diperlakukan sebagai ruang dalam definisi-definisi berikut :
12. Matematika telah dimulai sebagai suatu aturan praktis untuk mengolah bilangan-bilangan dan besaran-besaran ruang.
(Chambers’s Encyclopaedia, Volume IX, 1955,p154.)
13. Matematika yang sebenarnya, sebagaimana kita telah sering menekankan, menguraikan bilangan-bilangan, bangun-bangun geometris, dan perumuman-perumuman atau perluasan-perluasan dari gagasan-gagasan yang menyangkut bilangan-bilangan dan bangun-bangun geometris.)
(Morris Kline, Mathematics : A Cultural Approach, 1962,p666.)
14. Sebuah batasan tua mengenai matematika ialah penelaahan tentang bilangan (aritmetika) dan tentang bentuk (geometri). Bilangan dan bentuk merupakan dua gagasan yang sangat berbeda; mengapa keduanya ini harus ditaruh bersama sebagai satu mata pelajaran?
(W. W. Sawyer, Prelude to Mathematics, 1957,p89.)
Selain itu Hollis Cooley menjelaskan sebagai berikut :
“Matematika dari masa yang lampau menyangkut terutama dengan penelaahan terhadap dua hal, bilangan-bilangan dan ruang, yang pertama merupakan lapangan dari aritmetika dan aljabar, dan yang belakangan termasuk dalam bidang geometri.”
Matematika sebagai ilmu tentang bilangan dan ruang merupakan perumusan matematika dari masa yang lampau. Sebuah karya referensi juga menyatakan bahwa ilmu tentang bilangan dan ruang merupakan batasan kuno (ancient definition).
Masa yang lampau atau kuno yang dimaksud itu tidak lain ialah zaman Yunani Kuno yang dimulai sekitar 600 tahun sebelum Masehi. Filsuf dan ahli matematika Alfred North Whitehead (1861-1947) menyatakan bahwa “bilangan-bilangan dan bentuk-bentuk geometris merupakan isi tunggal dari matematika Yunani.”
Bilamana sejarah peradaban manusia ditinjau, memang terdapat dua macam kemampuan yang diperlukan untuk kemajuan peradaban itu, yaitu menghitung dan mengukur. Dalam perkembangan sejarah peradaban manusia, pada sekitar 5000 tahun yang lampau orang telah mengembangkan dasar-dasar ilmu hitung dan ilmu ukur. Matematika pada mulanya hanyalah berupa suatu teknik menurut aturan-aturan praktis untuk mengolah bilangan-bilangan dan besaran-besaran ruang. Kemudian barulah berkembang sebagai ilmu tentang bilangan dan ruang, terutama mulai abad ke-6 sebelum Mesehi dengan munculnya ahli matematika Pythagoras.
Pada zaman Yunani Kuno sampai masanya Plato istilah matematika masih diartikan sebagai pengetahuan teratur yang rasional. Morris Kline menyatakan :
“Dalam masa Plato kata matematika berarti pengetahuan teratur yang rasional, yang padanannya modern ialah istilah Jerman Wissenschaft. Belakangan barulah dengan Aristoteles kata itu menjadi berarti mata-mata pelajaran khusus yang kita pelajari dalam pelajaran-pelajaran matematika.”
Jadi, mulai masa hidupnya Aristoteles luas pengertian matematika tidak lagi meliputi segenap pengetahuan sesuai dengan asal-usul perkataannya, melainkan menjadi terbatas pada pengetahuan matematika yang sebenarnya. Penyempitan makna ini mengarah kepada bilangan dan ruang karena pengetahuan yang tertua itu sesungguhnya untuk keperluan pengukuran-pengukuran tanah (misalnya sehabis banjir) dan perhitungan-perhitungan kalender. Dengan demikian, matematika lalu tegas-tegas dibedakan dengan bidang-bidang pengetahuan atau cabang-cabang ilmu lainnya. Oleh karena matematika mempelajari bilangan, titik, garis, sudut, segitiga, dan berbagai bentuk yang menyangkut ruang, maka akhirnya terciptalah pengertian matematika sebagai ilmu tentang bilangan dan ruang.
Perumusan arti yang lebih sempit itu bertahan sampai abad ke-16 dan bahkan dapat dikatakan sampai sekarang masih dianut dalam sebagian besar kamus bahasa maupun ensiklopedia pengetahuan umum.
Persoalan yang kini perlu dibahas lebih lanjut ialah pengertian ruang. Filsuf dan ahli matematika Gottfried Wilhelm Leibniz merumuskannya sebagai “susunan dari benda-benda yang berada pada waktu yang sama.”
Dalam pengertian umum dan kehidupan sehari-hari ruang diartikan daerah atau lingkungan yang mempunyai tiga dimensi, yaitu sifat panjang, lebar, dan tinggi. Suatu bidang mempunyai dua dimensi berupa panjang dan lebar, sedang ruang mencakup tiga dimensi panjang, lebar, dan tinggi.
Dari sudut matematika sebuah kamus merumuskannya sebagai “himpunan dari semua titik”. Menurut John Freund, ruang menunjuk pada suatu kumpulan unsur-unsur yang untuk gampangnya disebut titik-titik yang dan yang ditentukan sebagai dimensinya ialah banyaknya bilangan yang diperlukan untuk menetapkan letak setiap titik.
Pada zaman Yunani Kuno segi-segu ruang dipelajari oleh para ahli secara mendalam sebagai geometri atau ilmu ukur. Ilmu ini mencapai puncaknya ditangan Euclid yang menulis dan menyusunnya secara sistematis dalam 13 buku. Dalam uraian Euclid, pengertian ruang adalah seperti yang tampak sehari-hari dengan tiga dimensinya beserta bidang yang hanya mempunyai 2 dimensi. Ruang yang demikian itu kini disebut Euclidean space (ruang Euclid).
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata ruang Euclid bukanlah satu-satunya ruang bagi geometri. Masih ada berbagai ragam ruang lainnya yang kini dinamakan nn-Euclidean space (ruang non-Euclid). Pengertian ruang dalam geometri modern ialah ‘”suatu himpunan unsur-unsur atau titik-titik yang memenuhi suatu himpunan postulat”.
Timbulnya pengertian ruang non-Euclid bermula pada dalil ke-5 Euclid tentang kesejajaran. Telah lama orang merasa curiga terhadap kebenaran dalil itu bahwa melalui sebuah titik di luar sebuah garis hanya dapat ditarik satu garis lurus yang sejajar dengan garis yang pertama itu. Dalam hal ini terjadi dua kemungkinan. Pertama, tidak mungkin dibuat garis yang sejajar dengan garis yang pertama. Kedua, melalui sebuah titik dapat dibuat lebih daripada satu garis yang sejajar dengan garis yang pertama.
Dalam abad ke-19 terjadilah penambahan terhadap pengertian ruang Euclid. Seorang ahli matematika George Friedrich Bernhard Riemann (1826-1866) membuktikan adanya ruang eliptik (elliptic space) yang tidak ada garis sejajarnya. Pada ruang ini setiap garis akan bertemu dengan garis lainnya dan sebuah segitiga mempunyai sudut yang jumlahnya lebih besar daripada 180 derajat dengan maksimum 270 derajat (jumlah dari tiga segitiga siku-siku)
Seorang ahli matematika lain Nikolas Ivanovitch Lobatchewsky (1793-1856) mengembangkan suatu ragam ruang lain yang disebut ruang hiperbolik (hyperbolic space). Pada ruang ini dari sebuah titik dapat ditarik lebih daripada satu garis sejajar, sedang segitiganya mempunyai sudut yang jumlahnya kurang daripada 180 derajat.
Dalam abad ke-19 Felix Klein (1849-1919) membuat sumbangan –sumbangan penting pada geometri yang berdasarkan ruang eliptik, sedang Einstein dalam abad ke-20 memakainya untuk memperkembangkan teori relativitasnya. Ruang Euclid sendiri selanjutnya juga disebut ruang parabolik (parabolic space).

MATEMATIKA MEMPELAJARI BESARAN DAN KELUASAN
Pengertian bilangan dan ruang ternyata mengalami abstraksi lebih lanjut. Kedua hal itu dalam satu pengertian istilahnya ialah quantity (kuantitas/besaran). Batasan matematika sebagai ilmu tentang kuantitas/batasan juga berasal dari masa yang silam dan pertama diberikan oleh Aristoteles. Sampai sekarang definisi ini masih dipakai pula dalam kamus-kamus dan ensiklopedi-ensiklopedi dengan diberi tambahan atau kelengkapan seperlunya. Berbagai definisi tentang matematika sebagai ilmu tentang kuantitas/besaran dapat dilihat sebagai berikut:
1. “Matematika, ilmu tentang besaran” merupakan sebuah gagasan tua yang kembali kepada Aristoteles.
(Florian Cajori, A History of mathematics, 1958,p285.)
2. Matematika : ilmu yang membicarakan pengukuran, sifat-sifat, dan hubungan-hubungan dari besaran-besaran, termasuk aritmetika, geometri, aljabar, dan lain-lainnya.
(C.L. Barnhart & Jess Stein, eds., The American College Dictionary, 1961,p751.)
3. Matematika adalah suatu ilmu yang berdasarkan pada pemikiran dalam besaran-besaran.
(The Book of Knowledge : The Children’s Encyclopedia, Volume 19, 1961,p7001.)
4. Matematika : penelaahan tentang besaran-besaran bilangan dan hubungan-hubungan mereka, tentang besaran-besaran ruang dan hubungan-hubungan mereka, dan tentang berbagai abstraksi-abstraksi mengenai hubungan-hubungan yang demikian.
(William Bridgwater, ed., The Columbia-Viking Desk Encyclopedia, Volume Two, 1960,p833.)
5. Matematika : ilmu yang membicarakan tentang besaran.
(Collin’s National Dictionary and Encyclopedia, tanpa tahun,p204.)
6. Matematika adalah ilmu tentang besaran atau keluasan.
(Dikutip dalam Tomlinson Fort, The American Mathematical Monthly, November 1940,p606.)
7. Wiskunde, mathematica, mathesis, ilmu tentang hakekat dan hubungan satu sama lain dari besaran-besaran kuantitatif dan ruang(bilangan, dan lain-lainnya.)
(John Kooy, Encyclopedie voor Iedereen, 1949,p1262.)
8. Matematika adalah penelaahan yang meguraikan besaran-besaran bilangan atau ruang, sifat-sifat mereka, dan hubungan-hubungan meraka, serta aturan-aturan formal yang mengatur pengolahan-pengolahan (seperti menyusun dan menggabungkan) dalam sistem lambang ini.
(Sheldon J. Lachman, The Foundations of Science, 1969,p63.)
9. Matematika mengacu pada suatu penelaahan tentang besaran-besaran dalam bentuk matematika murni, yang menguraikan hubungan yang tepat dari berbagai jenis besaran-besaran dalam bentuk diperumum atau abstrak, atau matematika terapan, yang terdiri dari penerapan perumuman-perumuman ini pada peristiwa-peristiwa yang nyata dan praktis.
(The Modern Encyclopedia Illustrated, Volume Five, 1963,p1640.)
10. Matematika : ilmu yang membicarakan tentang besaran.
(J.M. Parrish & John R. Crossland, eds., The Westminster Dictionary, tanpa tahun,p604.)
11. Batasan umum, diantara orang-orang seperti kepala-kepala sekolah biasa, masihlah bahwa matematika adalah ilmu tentang besaran.
(C.S. Peirce, “The Essence of Methematics”, dalam The World of Mathematics, Volume 3, 1956,p1773.)
12. Telah terbiasa dikatakan bahwa matematika adalah ilmu tentang “besaran”. “Besaran” merupakan sebuah kata yang kabur, tetapi untuk kepentingan perbincangan kita dapat menggantinya dengan kata “bilangan”.
(Bertrand Russell, Introduction to Mathematical Philosophy, 1956, p195.)
13. Matematika : ilmu yang membicarakan tentang pengukuran, sifat-sifat, dan hubungan-hubungan dari besaran-besaran, termasuk aritmetika, geometri, aljabar, dan lain-lainnya.
(Jess Stein, ed., The Random House American Everyday Dictionary, 1961,p62.)
14. Dari zaman dahulu matematika telah dipandang sebagai ilmu tentang besaran, atau tentang ruang dan bilangan.
(Herman Weyl, Philosophy of Mathematics and Natural Science, 1959,p62.)
15. Matematika adalah penelaahan tentang besaran-besaran dan hubungan-hubungan melalui pemakaian bilangan-bilangan dan lambang-lambang.
(The World Book Encyclopedia, Volume 13, 1964,p238.)
16. Wiskunde, mathesis, ilmu, yang berhubungan dengan sifat-sifat dari besaran-besaran yang dianggap sebagai hal-hal yang berdiri sendiri.
(R. Zondervan, red., Nederlandse Algemene Encyclopedie, tanpa tahun,p936.)
Besaran atau kuantitas menurut sebuah kamus matematika ialah suatu jumlah atau suatu bilangan ataupun suatu ungkapan yang mengandung nilai. Di sini nilai berarti sesuatu bilangan apa pun.
Menurut Bertrand Russell, istilah quantity adalah suatu kata kabur. Oleh karena itu, untuk memudahkan pembahasan ia lebih suka menggantinya dengan kata bilangan. Seorang ahli matematika lain Herman Weyl menyatakan bahwa sesungguhnya dalam perkembangan matematika sendiri diragukan apakah kuantitas merupakan suatu pengertian yang penting. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa kita tak perlu cemas mengenai apa yang secara pasti dimaksudkn dengan kuantitas itu.
Sebuah istilah lain yang juga dipakai untuk menampung pengertian bilangan dan ruang dalam batasan-batasan matematika ialah istilah magnitude (keluasan). Istilah ini sering dipersamakan artinya atau dianggap sepadan dengan quantity.
Mengenai pengertian keluasan yang boleh dikatakan searti dengan basaran, Keyser menjelaskan sebagai berikut :
“Salah satu yang tertua, sekaligus juga yang paling dikenal, dari batasan-batasan memandang matematika sebagai ilmu tentang keluasan, dalam hal ini kaluasan, termasuk jumlah besar sebagai suatu jenis yang istimewa, berarti apa saja yang mampu mengalami penambahan dan pengurangan serta pengukuran.”
Demikianlah bilangan, besaran, ruang, dan keluasan merupakan sasaran-sasaran yang ditelaah oleh matematika. Sasaran-sasaran itu seringkali disebut secara bersama-sama pada definisi matematika dalam kamus dan ensiklopedi sehingga perumusannya campur aduk kurang cermat. Berbagai definisi ini dapat dilihat sebagai berikut :
1. Matematika : suatu istilah yang bersifat mencakup untuk sejumlah cabang pengetahuan yang menguraikan keluasan-keluasan, bilangan-bilangan, besaran-besaran dan hubungan-hubungan mereka.
(The American Educator Encyclopedia, Volume 7,1955,p2278A.)
2. Matematika : ilmu tentang penalaran logis yang diterapkan pada bilangan-bilangan, ruang, dan besaran.
(the American Peoples Encyclopedia: A Comprehensive Modern-Mined Reference Work, Volume 13, 1962/1963,p105.)
3. Sebuah kumpulan peralatan pikiran yang dengannya Manusia telah mempelajari selama suatu jangka waktu lama untuk memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan bilangan dan keluasan.
(S. Graham Brade-Birks & Frank Higenbottam, Concise Encyclopedia of General Knowledge, 1956,p322.)
4. Matematika adalah penelaahan tentang bilangan-bilangan, bentuk-bentuk, dan lambang-lambang. Hal ini juga meliputi aturan-aturan untuk menangani hal-hal ini.
(Bryan Bunch, “Mathematics”, The New Book of Knowledge, Volume 12, 1973,p154.)
5. Matematika : ilmu tentang keluasan dan bilangan, serta tentang semua hubungan-hubungan mereka.
(Chambers’s Twentieth Century Dictionary, 1950,p558.)
6. Matematika : ilmu tentang besaran dan ruang.
(Collins’New English Dictionary, 1959,p622.)
7. Matematika : ilmu tentang bilangan dan besaran.
(The Concise “Standard” Dictionary of the English Language, 1945,p316.)
8. Penelaahan teratur tentang susunan, bilangan, besaran, dan bentuk.
(Cowles Encyclopedia of Science, Industry and Technology, 1969,p322.)
9. Penelaahan logis tentang besaran, bentuk, susunan, dan keluasan; teristimewa, metode-metode untuk menyingkap, dengan pemakaian pengertian-oengertian yang dirumuskan secara teliti dan lambang-lambang yang tetap, sifat-sifat dan hubungan-hubungan yang tepat dari besaran-besaran dan keluasan-keluasan, baik dalam matematika murni yang abstrak atau dalam pertalian-pertaliannya yang praktis, matematika terapan.
(Funk & Wagnalls Stanrad dictionary of the english Language, Volume 2, 1964,p786.)
10. Tampaknya bagi saya, satu-satunya sasaran-sasaran dari ilmu-ilmu abstrak atau dari pembuktian ialah besaran dan bilangan.
(David Hume sebagaimana dikutip dalam Abraham S. Luchons & Edith H. Luchins, Logical Foundations of Mathemtics for Behavioral Scientists, 1965,p321.
11. Penelaahan logis tentang bentuk, susunan, besaran, dan banyak pengertian-pengertian yang bertalian.
(Glenn James & Robert C. James, eds., Mathematics Dictionary, 1976,p239.)
12. Wiskunde menyelidiki hubungan-hubungan antara bilangan-bilangan, besaran-besaran ruang, dan himpunan-himpunan.
(De Katholieke Encyclopaedie, Vier-en-twintigste Deel, 1955,p868.)
13. Suatu bidang ilmiah yang menyangkut sifat-sifat dari hubungan-hubungan di antara, dan aturan-aturan untuk mengolah bilangan-bilangan, keluasan-keluasan, dan nilai-nilai kuantitatif.
Sheldon J. Lacman, The Foundations of Science, 1969,p107.
14. Ilmu tentang besaran dan bilangan serta tentang langkah-langkah pengerjaan yang melibatkan mereka.
(Macmillan’s Modern Dictionary, 1947,p678,)
15. Uraian teratur tentang keluasan, hubungan-hubungan antara bangun-bangun dan bentuk-bentuk, dan hubungan-hubungan antara besaran-besaran yang diungkapkan secara simbolik.
(The Random House Dictionary of The English Language: College Edition, 1968,p825.)
16. Wiskunde, Mathematica, Mathesis, ilmu yang berhubungan dengan besaran-besaran dan keluasan-keluasan sebagi hal-hal yang berdiri sendiri.
(Van Dale’’s Nieuw Groot Woordenboek der Nederlandse Taal, 1950,p2121.)
17. Matematika ; Suatu ilmu yang menguraikan hubungan dan simbolisme dari bilangan-bilangan dan keluasan-keluasan serta itu meliputi langkah-langkah pengerjaan dan penyelesaian soal-soal kuantitatif.
(Webster’’s Third New International Dictionary of the English Language (Unabriged), 1966,p1393.)
18. Matematika : Ilmu yang membicarakan tentang besaran-besaran dan keluasan-keluasan, dengan pemakaian lambang-lambang, dan pengukuran, dan hubungan-hubungan, dan sifat-saifat dari besaran-besaran dan keluasan-keluasan itu.
(The Winston Dictionary of Home, School and Office, 1951,p437.)
19. Matematika biasanya dianggap sebagai suatu cabang dari kegiatan manusia yang menyangkut penyusunan-penyusunan yang logis dari hal-hal demikian seperti bilangan, besaran, dan bentuk.
(The Word Book Encyclopedia, Volume 11, 1955,p4878.)
20. Matematika, ilmu tentang sifat-sifat dari bilangan-bilangan dan dari keluasan-keluasan, diperkembangkan dalam masa lampau, dipakai oleh orang-orang Mesir, Yunani, Arab, dan Indian Maya.
(The Word Wide Encyclopedia, Volume VI, 1962, tanpa pagina.)

MATEMATIKA SEBAGAI ILMU TENTANG HUBUNGAN
Ahli Matematika Jerman yang terbesar dalam abad ke-19 Carl Friedrich Gauss (1777-1855) berpendapat bahwa “matematika semata-mata menyangkut perincian dan perbandingan dari hubungan-hubungan”. Menurut Gauss sebuah keluasan tersendiri tidaklah mungkin dipelajari. Misalkan sebuah garis tunggal tidak memberikan pengetahuan apa-apa. Tetapi, kalau sebuah garis lain diletakkan di sebelahnya, maka dapatlah ditelaah berbagai hubungan yang ada.
Pengertian hubungan dalam matematika menurut John Hafstrom bertalian erat dengan artinya dalam pemakaian sehari-hari. Sebuah hubungan mencakup dua hal atau lebih yang memiliki sifat tertentu yang umum di antara mereka, atau yang sama-sama tercakup dalam suatu himpunan tertentu. Contoh-contoh hubungan dalam matematika misalnya ialah kesamaan (dua buah bilangan dapat dianggap berhubungan karena besarnya yang sama), perimbangan, lebih besar, lebih kecil, atau kesejajaran. Henry Poincare menyatakan bahwa ilmu sesungguhnya tidak dapat mengetahui benda-benda, melainkan hanyalah hubungan-hubungan. Mengerti adalah mengerti hubungan-hubungan; memiliki pengetahuan adalah berarti memiliki pengetahuan tentang hubungan-hubungan, dan hubungan-hubungan itu menjadi pula pusat perhatian dari matematika. Tetapi, hal yang ingin diketahui oleh para ahli matematika menurut Keyser ialah hubungan abstrak yang pasti, hubungan-hubungan fungsional yang sepenuhnya ditentukan atau dapat ditentukan. Selanjutnya ia menyatakan hal yang berikut :
“Adalah kumpulan hubungan-hubungan yang dapat dipikirkan secara logis itulah yang menjadi alam semesta dari ahli matematika, suatu alam semesta tak terhingga yang tidak terbatas, dunia-dunia dalam dunia-dunia dari dunia-dunia dalam dunia-dunia keajaiban yang terkhayalkan lebih kayanya mengenai isi pengetahuannya daripada dunia indera luar yang manapun.”
Berbagai perumusan lainnya tentang matematika sebagai ilmu yang menelaah hubungan-hubungan dapat dibaca sebagai berikut :
1. Matematika : mata pelajaran yang menguraikan hubungan-hubungan diantara keluasan-keluasan.
(Carl Friedrich Gauss sebagaimana dikutip dalam Jane Muir,Of Men and Numbers, 1962,p194.)
2. Matematika, ilmu yang di dalamnya hubungan-hubungan yang diketahui diantara keluasan-keluasan dikenakan proses-proses tertentu yang membuat hubungan-hubungan lainnya dapat diturunkan.
(The Golden Home High School Encyclopedia, Volume XI, 1961,p1579.)
3. Matematika adalah ilmu tentang hubungan dari keluasan-keluasan. Keluasan adalah segala sesuatu yang dapat dibuat sama atau tak sama dengan hal lain.
(Herman Grassman sebagaimana dikutip dalam Israel H. Rose, A Modern Introduction to College Mathematics, 1959,p105.)
4. Ilmu-ilmu formal yang murni, logika dan matematika, menguraikan hubungan-hubungan itu yang bebas atau dapat bebas dari isi khusus atau materi dari benda-benda.
(Hermann Hankel sebagaimana dikutip dalam Howard Eves & Carroll V. Newsom, An Introduction to the Foundations and Fundamental Concepts of Mathematics, 1964,p176.)
5. Ini adalah penelaahan tentang hubungan-hubungan, atau perimbangan bagaimana hal-hal yang berbeda berbanding satu sama lain.
(Illustreted World Encyclopedia, Volume 14, 1965,p3332.)
6. Matematika barang kali dapat lebih baik dianggap sebagai suatu ilmu tentang urutan atau, bahkan lebih tepat, sebagai suatu ilmu tentang hubungan-hubungan.
(J. R. Kantor, Psychology and Logic, Volume II, 1990,p269.)
7. Matematika adalah penelaahan tentang bangunan-bangunan pikiran (seringkali dapat diterapkan pada masalah-masalah yang nyata), dan dengan itu penemuan dari hubungan-hubungan di antara bagian-bagian dari bangunan-bangunan ini, yang sebelumnya tak diketahui.
(C. S. Peirce sebagaimana dikutip dalam Howard Eves & Carroll V. Newsom, An Introduction to the Foundations and Fundamental Concepts of Mathematics, 1964,p177.)
8. Matematika adalah ilmu tentang hubungan-hubungan.
(Israel H. Rose, A Modern Introduction to College Mathematics, 1959,p105.)
9. Matematika (Yunani mathematica), adalah secara luas, ilmu yang di dalamnya hubungan-hubungan yang diketahui diantara keluasan-keluasan dikenakan proses-proses tertentu yang membuat hubungan-hubungan lainnya dapat ditentukan.
(The Standard American Encyclopedia, Volume VIII, 1937,tanpa pagina.)
MATEMATIKA SEBAGAI ILMU TENTANG BENTUK
Dari hubungan kemudian beberapa ahli matematika berbicara tentang pola. Tugas dari ahli matematika ialah menemukan macam-macam hubungan yang terjadi secara luas dalam alam dan menganalisis pola-polanya sehingga pola-polanya itu dapat dikenal bilamana muncul. Bruce Meserve dan rekannya menyatakan sebagai berikut :
“Ahli-ahli matematika senang mencari pola-pola dan perumuman-perumuman dalam semua cabang pengetahuan mereka dalam aritmetika, dalam aljabar, dan dalam geometri. Suatu pencarian pola-pola yang demikian itu bukan saja akan menarik, melainkan juga dapat membantu seseorang mengembangkan pemahaman tentang matematika sebagai suatu keseluruhan.”
Seorang matematikawan yang secara tegas merumuskan matematika sebagai pengetahuan yang menelaah pola ialah W. W. Sawyer. Batasannya berbunyi sebagai berikut :
“Matematika adalah penggolongan dan penelaahan tentang semua pola yang mungkin. Pola di sini dipakai dalam suatu cara yang tidak setiap orang dapat menyetujuinya. Ini dipahami dalam suatu makna yang amat luas, mencakup hampir setiap macam keteraturan yang dapat dikenali oleh pikiran.”
Perwujudan-perwujudan dalam alam mempunyai berbagai pola atau keteraturan. Pola-pola yang sama sering-sering terkandung dalam aneka benda-benda atau keadaan-keadaan yang tampaknya berbeda-beda. Tetapi, sekali pola alamiah yang sama itu diketahui dan dipahami oleh ahli matematika dapatlah diwujudkan menjadi pola dalam matematika.
Karena kesamaan pola itu Poincare menyatakan bahwa matematika adalah seni tentang memberikan nama yang sama kepada benda-benda yang berbeda.
Batasan dari O. G. Suton yang berbunyi :
“Matematika adalah suatu penelaahan tentang pola-pola dari ide-ide, yang dilakukan dengan suatu teknik khusus yang telah diperkembangkan secara tinggi, yang dipercayai tak dapat salah.”
Dari batasan matematika sebagai ilmu tentang pola-pola orang melangkah lebih lanjut sampai kepada ilmu tentang bentuk. Edna Kramer menegaskan sebagai berikut :
“Sudut pandangan yang kami baru saja kembangkan pastilah mengungkapkan matematika sebagai suatu ilmu tentang bentuk, yang tidak perlu dibatasi pada bilangan, ruang, besaran, atau pengukuran, melainkan sebaliknya bersifat mencakup semuanya, termasuk logika, ilmu-ilmu murni maupun ilmu-ilmu terapan yang untuknya ilmu-ilmu murni menyediakan bentuknya.”
Pengertian bentuk di sini bukanlah gambar-gambar bidang dan bentuk-bentuk ruang sebagaimana lazim dalam geometri. Arti yang lebih baru dari bentuk dalam matematika menunjukkan pada rakitan dari hubungan-hubungan dan teori-teori. Ini berkembang, tidak dari suatu penelaahan tentang bentuk ruang sebagai demikian, melainkan dari analisis mengenai pembuktian-pembuktian yang terjadi dalam geometri, aljabar, dan pembagian-pembagian lainnya dari matematika.
Menurut H. M. Dadourian, pengertian tentang bentuk memegang suatu peranan yang sangat penting dalam studi matematika. Misalnya bentuk dari suatu rumus matematika adalah jauh lebih penting daripada lambang-lambang yang dipakai dalam rumus itu. Sesuatu lambang dapat diganti dengan sebuah tanda lainnya apapun tanpa mengubah berlakunya rumus itu.
Definisi-definisi tentang matematika sebagai ilmu tentang bentuk dapat dilihat sebagai berikut :
1. Matematika dapat diberikan batasan sebagai ilmu tentang bentuk yang abstrak. Matematika menelaah susunan yang diabstraksikan dari benda-benda khusus dan gejala-gejala yang menunjukkannya, dan dalam suatu bentuk yang diperumum.
(Harvard Committee of 1945 sebagaimana dikutip dalam Howard Eves & Carroll V. Newsom, An Introduction to the Foundations and Fundamental Concepts of Mathematics, 1964,pix.)
2. Barangkali pelukisan yang paling sedikit tak memadai tentang lingkupan umum dari Matematika Murni modern – saya tidak akan menyebutkannya sebuah batasan – akan mengatakan bahwa ini menguraikan bentuk, dalam suatu makna yang sangat umum dari istilah itu.
(E. W. Hobson sebagaimana dikutip dalam Howard Eves & Carroll V. Newsom, An Introduction to the Foundations and Fundamental Concepts of Mathematics, 1964,pix.)
3. Ilmu yang meliputi penelaahan yang praktis dan teoritis kedua-duanya tentang bentuk, ruang, dan bilangan.
(Illustrated World of Science Encyclopedia, Volume 12, 1971,p184.)
4. “Matematika” adalah ilmu yang menguraikan urutan murni atau bentuk terlepas dari isi apa pun.
(Herbert L. Searles, Logic and Scientific Methods, 1968,p51.)

MATEMATIKA SEBAGAI ILMU YANG BERSIFAT ABSTRAK DAN DEDUKTIF
Perumusan Matematika tidak selesai dengan ditentukannya hubungan , pola, bentuk, dan rakitan sebagai sasarannya. Keempat sasaran itu hanyalah semakin menegaskan bahwa matematika menyangkut pengertian-pengertian abstrak. Dalam matematika dewasa ini, sifat-sifat dari pengertian abstrak itulah yang ditelaah. Bahkan menurut Salomon Bochner, matematika tidak berhubungn dengan perwujudan-perwujudan dan benda-benda dari dunia luar, melainkan hanya dengan hal-hal dan hubungan-hubungan yang merupakan gambaran-gambaran yang diciptakannya sendiri. Dengan ini lahirlah pendapat yang menganggap matematika sebagai penelaahan tentang sistem-sistem abstrak, yakni sebagai penelaahan tentang ‘permainan-permainan’ yang dimainkan dengan sasaran-sasaran abstrak yang perilakunya dicirikan dengan kumpulan-kumpulan aturan yang ditentukan.
Pendapat itu adalah sesuai dengan pendirian filsuf Charles Sanders Peirce (1939-1914) yang menyatakan bahwa matematika tidak berhubungan dengan keadaan senyatanya dari benda-benda, melainkan semata-mata dengan keadaan pengandaian dari benda-benda. Batasannya tentang matematika berbunyi sebagai berikut :
“Matematika adalah penelaahan tentang apa yang benar mengenai keadaan pengandaian dari benda-benda. Itulah sari pati dan batasannya.”
Dengan demikian, matematika tergolong sebagai ilmu yang bersifat abstrak atau sering kali disebut juga matematika murni. Karena ciri-cirinya yang abstrak dan murni itulah Bertrand Russell membuat perumusan dalam 1901 yang sampai sekarang sangat terkenal dan bunyinya demikian :
“Dengan demikian matematik dapat didefinisikan sebagai mata pelajaran yang didalamnya kita tak pernah mengetahui apa yang sedang kita bicarakan maupun apakah yang kita katakan benar.”
Perumusan Russell yang tampaknya seperti sebuah olok-olok itu menurut beberapa ahli matematk sesungguhnya merupakan suatu lukisan yang cermat tentang matematika murni, sedang Bell menyatakan bahwa perumusan itu menekankan sifat abstrak yang sepenuhnya dari matematika. Perumusan Russell itu sesungguhnya bukan suatu definisi matematika melainkan sebuah pelukisan dengan semacam sajak pendek tentang ciri-ciri matematika murni atau matemaatika abstrak yang tumbuh dalam abad ke 20 ini.
Makna perumusan Russell itu ialah bahwa setiap sistem matematika sebagai landasannya yang penghabisan berpangkap pada unsur-unsur yang tidak diterangkan lebih lanjut. Dengan kata lain, semua perumusan dalam matematika pada akhirnya didasarkan pada istilah-istilah yang tak diuraikan artinya. Istilah-istilah itu dalam bentuknya sebagai lambang-lambang belaka tidak memiliki arti dari dunia kenyataan, bahkan boleh dikataka kosong dari sesuatu pengertian atau tidak mengandung isi apa-apa. Oleh karena itu, para ahli matematika tidak mengetahui apa yang sedang dibicarakannya dalam matematika.
Selanjutnya dalam melakukan langkah-langkah pengerjaan terhadap istilah-istilah yang tak diuraikan artinya itu, para ahli matematika membuat kesimpulan-kesimpulan atau pembuktian-pembuktian berdasarkan berbagai pernyataan yang telah ditetapkan dimuka. Pada tahap terakhir mereka terpaksa harus berhenti pada pernyataan-pernyataan yang tak dibuktikan. Pernyataan-pernyataan pangkal yang tak dibuktikan ini lazimnya dinamakan aksioma atau postulat. Misalnya pernyataan bahwa : “keseluruhan adalah lebih besar dari pada bagiannya yang manapun” atau pernyataan bahwa “ melalui dua titik yang berbeda hanya dapat ditarik satu dan hanya satu garis lurus”. Oksioma atau postulat itu adalah asas –asas dasar yang kini dianggap sebagai kata sepakat dalam matematika yang tidak dibuktikan kebenarannya. Oleh karena itu, dalam matematika murni apabila para ahli membuat kesimpulan atau menyusun dalil-dalil dari oksioma atau postulat itu, mereka juga tidak mengetahui apakah yang dikatakan itu benar atau tidak dalam hubungannya dengan dunia kenyataan. Kesimpulan atau dalil ini hanyalah berlaku sesuai dengan deduksi yang dijalankan menurut hukum-hukum logika.
Dari uraian tersebut di atas ternyata matematika selain merupakan suatu ilmu yang bersifat abstrak juga bersifat deduktif. Sebagai ilmu yang deduktif, hal yang lebih utama bagi matematika bukanlah sasaran-sasarannya, melainkan metode logika atau metode pembuatan kesimpulan yang dipakai. Oleh karena itu, dalam abad ke 20 ini terdapat pendirian yang memandang matematika sebagai suatu metode pemikiran. Dalam pernyataan Morris Kline :
“Terutama matematika adalah suatu metode penyelidikan yang dikenal sebagai pemikiran berdasarkan postulat. Metode itu sendiri dari merumuskan secara seksama definisi-definisi tentang pengertian-pengertian yang akan dibahas dan menyebutkn secara tegas patokan pikir-patokan pikir yang akan merupakan dasar bagi penalaran. Dari definisi-definisi dan patokan pikir-patokan pikir ini diturunkanlah kesimpulan-kesimpulan dengan menerapkan logika paling ketat yang mngkin dipakai orang. “
Pembuatan kesimpulan dari patokan pikir-patokan pikir yang telh ditentukan dimuka itu lazim disebut penalaran deduktif, penyimpulan secara deduktif, atau acap kali deduksi saja. Matematika menyangkut penyimpulan dari kumpulan aksioma yang ditetapkan pada berbagai sistem matematika, dan kesimpulan-kesimpulannya hanyalah diterima setelah ditetapkan berdasarkan deduksi. Tanpa pembuktian deduktif yang paling ketat dari patokan pikir-patokan pikir yang disebutkan secara tegas, maka tidak ada matematika menurut Bell.
Berhubungan dengan itu, matematika kadang-kadang dianggap sebagai suatu cabang dari ilmu tentang pembuatan kesimpulan. Penegasan tentang matematika sebagai ilmu yang menyangkut pembuatan kesimpulan pertama-tama dinyatakan oleh ahli matematika Benjamin Peirce (1809-1880).
Dalam karangannya yang terbit pada 1881 dirumuskannya bahwa “matematika adalah ilmu yang menarik kesimpulan-kesimpulan yang perlu”.
Perumusan Peirce itu sebagaaimana perumusan Russell tentang matematika murni di muka juga sangat terkenal dan kedua-duanya merupakan ucapan yang paling banyak dikutip oleh pengarang-pengarang buku matematika. Kalau perumusan Russell menekankan sifat matematika yang abstrak, perumusan Peirce menunjukkan sifat deduktif dari matematika. Tetapi, seperti halnya perumusan Russell yang sesungguhnya tidak menjelaskan apakah matematika itu, perumusan Peirce ini juga agak kabur dan dapat meliputi banyak hal yang bukan matematika. Misalnya belum jelas apakah yang dimaksud dengan “kesimpulan-kesimpulan yang perlu” itu.
Selanjutnya, membuat kesimpulan-kesimpulan juga dilakukan oleh para hakim dalam memutuskan perkara-perkara di pengadilan.
Demikianlah, matematika sejak jaman kuno sampai masa modern ini telah berkembang dari ilmu yang menelaah bilangan dan ruang menjadi ilmu yang bersifat abstrak dan deduktif yang menelaah pengertian-pengertian abstrak dengan langkah penyimpulan yang logis dan metode pemikiran berdasarkan postulat. Sebagai kelanjutan dari definisi Peirce kemudian timbullah berbagai definisi serumpun yang melengkapi atau menyempurnakannya, antara lain :
1. Matematika adalah ilmu tentng kesimpulan-kesimpulan yang perlu.
(W. C. Arnold, “How to Study Mathematics”, The American Mathematical Monthly, December 1940,p705.)
2. Matematika : ilmu abstrk yang bertalian dengan logika dan didasarkan paa sebuah proses asasi; ini melangkah maju dari suatu kumpulan patokan pikir-patokan pikir yang disebutkan secara tegas (aksioma-aksioma atau postulat-postulat) dan menurunkn dari mereka pernyataan-pernyataan (dalil-dalil) tentang hubungan.
(William Bridgwater & Seymour Kurtz, The Columbia Encyclopedia, Volume III, 1963,p1329.)
3. Matematika itu sendiri sebegitu jauh telah dipandang terdiri dari suatu kumpulan sistem-sistem pemikiran yang berdiri sendiri-sendiri secara logis walaupun sering kali bertautan.
(Hollis R. Cooley, et al., Introduction to Mathematics: A Survey Emphasizing Mathematical Ideas and Their Relations to Other Fields, 1949,p597.)
4. Matematika murni adalah suatu kumpulan teori-teori deduktif hipotetis, masing-masing terdiri dari seuah sistem tertentu dari pengertian-pengertian primitif, tak diterangkan, atau simbol-simbol dan patokan pikir-patokan pikir primitif, tak dibuktikan, tetapi ajeg (umumnya disebut aksioma-aksioma) bersama-sama dengan akibat-akibat mereka yang dapat diturunkan secara logis mengikuti proses-proses deduktif yang tegar tanpa bantuan ilham.
(G. D. Fitch sebagaimana dikutip dalam Horward Eves & Carroll V. Newsom, An Introduction to the Fondations and Fundamental Conceps of Mathematics, 1964,p177.)
5. Matematika adalah usaha yang mempunyai tujuannya untuk menetapkan pernyataan pengandaian. Dengan suatu pernyataan pengandaian saya maksudkan pernyataan yang dinyatakan atau mengaku dinyatakan dalam bentuk p mengandung q, dalam hal ini p mengacu pada satu atau lebih pernyataan (disebut aksioma-aksioma, postulat-postulat, patokan pikir-patokan pikir, atau pernyataan-pernyataan primitif), q mengacu pada suatu pernyataan-pernyataan (umumnya disebut suatu dalil), dan kata kerja mengandung dimaksudkan untuk menegaskan bahwa q dapat diturunkan secara logis dari p.
(Cassius J. Keyser, “ The Humanistic Bearings of Mathematics”, dalam W.D. Reeve, ed., Mathematics in Modern Life. 1931,p36.)
6. Bagaimanapun juga, postulat-postulat dan semua dalil yang dapat diturunkan dikatakan merupakan ilmu matematika.
(Edna E Kramer, The Main Stream of Mathematics, 1952,p250.)
7. Penelaahan deduktif tentang bentuk, besaran, dan ketergantungan : dua bidang utama adalah matematika terapan dan matematika murni, yang terdahulu timbul dari penelaahan tentang gejala-gejala fisik, yang belakang meliputi penelaahan intrinsik tentang rakitan-rakitan matematik.
(Daniel N. Lapedes, ed., McGraw-Hill Dictionary of Scientific and Technical Terms, 1974,p910.)
8. Matematika menguraikan hanya satu hal, proses berpikir, atau lebih tepat, penalaran yang menjurus kepada pembuktian.
(Denning Miller, Popular Mathematics,1942,pviii.)
9. Karena ini menjadi jelas bahwa matematika adalah semata-mata cabang ilmu terbaik dari semuanya yang menarik kesimpulan-kesimpulan yang secara logis dikandung oleh sesuatu himpunan tertentu dari oksioma-oksioma atau postulat-postulat.
(Ernest Nagel & James R. Newman, Godel’s Proof, 1958,p11.)
10. Ilmu-ilmu matematika yakni ilmu-ilmu itu yang mempergunakan penalaran logis dengan bantuan lambang-lambang dan yang menyangkut pengembangan metode-metode dari langkah-langkah pengerjaan yang mempergunakan lambang-lambang demikian.
(National Science Foundation, Berita M.I.P.I., Djuni 1959,p13.)
11. Kami tidak akan memberikan batasan matematika, melainkan lebih menekankan bahwa penciptaan sebuah sistem matematika adalah pembentukan suatu rakitan logis, yang pada dasarnya terdiri dari pernyataan-pernyataan utama dan pernyataan-pernyataan kelanjutan. Pernyataan-pernyataan utama meliputi istilah-istilah yang tak diterangkan, istilah-istilah diterangkan, dan patokan pikir-patokan pikir yang diterima tanpa pembuktian Pernyataan-pernyataan kelanjutan adalah kesimpulan-kesimpulan yang dicapai dari pernyataan-pernyataan utama.
(Kaj Nielsen, College Mathematics, 1958,p232-3.)
12. Matematika : ilmu abstrak yang menyelidiki secara deduktif kesimpulan-kesimpulan yang terkandung di dalam pengertian-pengertian dasar tentang hubungan-hubungan ruang dan bilangan, dan yang meliputi sebagai bagian-bagiannya yang utama geometri, aritmatika, dan aljabar.
(The Oxford English Dictionary, Volume VI, 1933,p234.)
13. Matematika ; ilmu tentang gagasan-gagasan yang disediakan oleh perasaan dan perenungan dalam hubungan dengan akibat-akibatnya yang perlu.
(Philo of Alexandria (100 sM), dikutip dalam James R. Newman, ed., The word of Mathematics, Volume 3, 1956,p1774.)
14. Dengan kata lain, matematika adalah kelompok ilmu-ilmu yang menelaah metode-metode yang tepat untuk menarik kesimpulan-kesimpulan yang perlu dari pangkal-pangkal pikir yang diterima sebagai dalil dan dinyatakan secara cermat.
(Raymon F. Piper & Paul W. Ward, The Fields and Methods of Knowledge: A Textbook in Orientation and Logic, 1929,p26.)
15. Konsepsi cemerlang tentang matematika sebagai penelaahan tentang segenap sistem-sistem logis abstrak atau ilmu-ilmu matematika abstrak dan penafsiran-penafsirannya yang nyata atau penerapan-penerapannya sesungguhnya membenarkan pernyataan bahwa matematika adalah pokok bagi setiap mata pelajaran yang membentuk bagian dari pencarian kebenaran.
(Moses Richardson, Fundamentals if Mathematics, 1950,p461.)
16. Matematika : ilmu yang menyangkut deduksi logis tentang akibat-akibat dari pangkalpikir-pangkalpikir umum dari semua penalaran.
(Bertrand Russell, dikutip dalam Alfred North Whitehead, Science and Philosophy, 1948,p291.)
17. Salah satu dari alat-alat utama untuk memperoleh pengetahuan dan mencapai kesimpulan-kesimpulan adalah metode deduktif, dan walaupun banyak dari matematika ditemukan atau diciptakan secara induktif, matematika adalah masih, terbaik dari semuanya, ilmu tentang penalaran deduktif.
(William L. Schaaf, Basic Concepts of Elementary Mathematics, 1966,pix.)
18. Kami memahami istilah suatu ilmu matematika berarti sesuatu himpunan pernyataan-pernyataan yang disusun sesuai dengan suatu urutan dari deduksi logis.
(Oswald Veblen & John Young, “A Mathematical Science”, dalam James Newman, ed., The World of Mathematics, Volume 3, 1956,p1697.)
19. Matematika dalam artinya yang terluas adalah pengembangan dari segenap ragam penalaran deduktif formal yang perlu.
(Alfred Nortf Whitehead, dikutip dalam Horward Eves & Carroll V. Newsom, An Introductions to the Foundations and Fundamental Concepts of Mathematics, 1958,p176.)
20. Ini adalah sebuah sistem logita yang tegar atau penalaran, yang dengannya kegiatan-kegiatan alam dapat dilukiskan dan dipahami dalam rangka lambang-lambang.
(David O. Woodbury, 1001 Questions Answered About the New Science, 1959,p335.)
21. Jadi, suatu sistem logis dimulai dengan istilah-istilah tertentu yang tak diterangkan dan pernyataan-pernyataan yang dibuktikan dan, dengan penalaran deduktif, mengembangkan kesimpulan-kesimpulan darinya dalam dalil-dalil dari sistem itu. Dari sudut pandangan tentang rakitan yang mungkin dari matematika, ini kadang-kadang diberi batasan sebagai sautu kumpulan dari sistem-sistem logis.
(The Word University Encyclopedia, Volume 7, 1965,p3140.)
22. Sebuah ilmu matematika adalah sesuatu kelompok pernyataan-pernyataan yang dapat mengalami perumusan abstrak dan penyusunan dalam suatu cara sedemikian sehingga setiap pernyataan dari himpunan itu setelah suatu pernyataan tertentu merupakan suatu akibat logis formal dari beberapa atau semua pernyataan-pernyataan yang mendahuluinya. Matematika terdiri dari segenap ilmu-ilmu matematika yang demikian itu.
(J. W. Young, dikutip dalam Horward Eves & Carroll V. Newsom, An Introductions to the Foundations and Fundamental Concepts of Mathematics, 1958,p176.)

MATEMATIKA SEBAGAI BAHASA
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat “artifisial” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya. Tanpa itu maka matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati. Yang paling sukar untuk menjelaskan kepada seseorang yang baru belajar matematika, keluh Alfred North Whitehead, ialah bahwa x itu sama sekali tidak berarti.
Bahasa verbal mempunyai beberapa kekurangan yang sangat mengganggu. Untuk mengatasi kekurangan yang terdapat pada bahasa maka kita berpaling kepada matematika. Dalam hal ini dapat kita katakan bahwa matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kubur, majemuk dan emosional dari bahasa verbal. Lambang-lambang dari matematika dibikin secara artifisial dan individual yang merupakan perjanjian yang berlaku khusus untuk masalah yang sedang kita kaji. Sebuah obyek yang sedang kita telaah dapat kita lambangkan dengan apa saja sesuai dengan perjanjian kita. Umpamanya bila kita sedang mempelajari kecepatan jalan kaki seorang anak maka obyek “kecepatan jalan kaki seorang anak” tersebut dapat kita lambangkan dengan x. Dalam hal ini maka x hanya mempunyai satu arti yakni “kecepatan jalan kaki seorang anak”. Lambang matematika ynag berupa x ini kiranya mempunyai arti yang jelas yakni “kecepatan jalan kaki seorang anak”. Di samping itu lambnag x tidak bersifat majemuk sebab x hanya melambangkan “kecepatan jalan kaki seorang anak” dan tidak mempunyai pengertian yang lain. Demikian juga jika kita hubungkan “kecepatan jalan kaki seorang anak” dengan obyek lain umpamanya “jarak yang ditempuh seorang anak” (yang kita lambangkan dengan y) maka kita dapat melambangkan hubungan tersebut sebagai z=y/x dimana z melambangkan “waktu berjalan kaki seorang anak”. Pernyataan z=y/x kiranya jelas tidak mempunyai konotasi emosional dan hanya mengemukakan informasi mengenai hubungan antara x, y, dan z. Secara ini maka pernyataan matematik mempunyai sifat yang jelas, spesific dan informatif dengan tidak menimbulkan konotasi yang bersifat emosional.

SIFAT KUANTITATIF DARI MATEMATIKA
Matematika mempunyai kelebihan lain dibandingkan dengan bahasa verbal. Matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Dengan bahasa verbal bila kita membandingkan dua obyek yang berlainan umpamanya gajah dan semut maka kita hanya dapat mengatakan gajah lebih besar dari semut. Kalau kita ingin menelusuri lebih lanjut berapa besar gajah dibandingkan dengan semut maka kita mengalami kesukaran dalam mengemukakan hubungan itu. Kemudian jika sekiranya kita ingin mengetahui secara eksak berapa besar gajah bila dibandingkan dengan semut maka dengan bahasa verbal kita tidak dapat mengatakan apa-apa.
Bahasa verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Demikian juga maka penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh ilmu dalam bahasa verbal semuanya bersifat kualitatif. Kita bisa mengetahui bahwa logam kalau dipanaskan akan memanjang. Namun pengertian kita hanya sampai disitu. Kita tidak bisa mengatakan dengan tepat berapa besar pertambahan panjangnya. Hal ini menyebabkan penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh bahasa verbal tidak bersifat eksak, menyebabkan daya prediktif dan kontrol ilmu kurang cermat dan tepat.
Untuk mengatasi masalh ini matematika mengembangkan konsep pengukuran. Lewat pengukuran, maka kita dapat mengetahui dengan tepat berapa panjang sebatang logam dan berapa pertambahan panjangnya kalau logam itu dipanaskan. Dengan mengetahui hal ini maka pernyataan ilmiah yang berupa pernyataan kualitatif seperti “sebatang logam kalau dipanaskan akan memanjang” dapat diganti dengan pernyataan matematik yang lebih eksak umpamanya :
P1=P0(1+λt)
Dimana P1 merupakan panjang logam pada temperatur 1, P0 merupakan panjang logam tersebut pada temperatur 0 dan λ merupakan koefisien pemuai logam tersebut. Sifat kuantitatif dari matematika ini meningkatkan daya prediktif dan kontrol dari ilmu. Ilmu memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan masalah secara lebih tepat dan cermat. Matematika memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif. Perkembangan ini merupakan suatu hal yang imperatif bila kita menghendaki daya prediksi dan kontrol yang lebih tepat dan cermat dari ilmu. Beberapa disiplin keilmuan, terutama ilmu-ilmu sosial, agak mengalami kesukaran dalam perkembangan yang bersumber pada problema teknis dan dalam pengukuran. Kesukaran ini secara bertahap telah mulai dapat diatasi, dan akhir-akhir ini kita melihat perkembangan yang menggembirakan, dimana ilmu-ilmu sosial telah mulai memasuki tahap yang bersifat kuantitatif. Pada dasarnya matematika diperlukan oleh semua disiplin keilmuan untuk meningkatkan daya prediksi dan kontrol dari ilmu tersebut.